Bagian 3

76 40 58
                                    

Huek!

Kamu pasti memiliki anak dengan monster itu!

Suara-suara di kepala kian memekakkan telinga. Berlomba-lomba, bersahut-sahutan, hingga menimbulkan hiruk pikuk yang sulit dikendalikan. Army menutup kedua telinganya, sedangkan isi perutnya serasa diaduk-aduk. Ia kembali mengeluarkan muatannya.

Huek!

"Aku tidak mungkin hamil!" Army berteriak. Tangannya terkepal, meninju-ninju perut, berusaha menghilangkan pengaruh buruk yang ditimbulkan oleh perutnya. Pikirannya kalut, menghancurkan tembok yang bertahun-tahun ia bangun guna menghindari hal-hal yang tak diinginkan terjadi.

"Ya Tuhan, kau bercanda, kan? Mana mungkin aku hamil anak bajingan itu?" Pikiran Army mulai berdistraksi liar, menciptakan memori-memori baru tak kasat mata. Ia menutup mata. Kumohon, katakan padaku bahwa ini hanyalah khayalanku semata!

"Army!" Gadis bersurai hitam di sana terlonjak kaget. Irisnya mengarah pada sosok gadis yang tengah berada di hadapannya. "Army, kau mendengarkan, kan?" Gadis itu bertanya sekali lagi, memastikan.

"Ya, maaf. Kau bilang apa tadi?" Army—gadis bersurai hitam, berujar pelan.

"Fakultas kita akan mengadakan pameran seni dua bulan ke depan. Dua minggu pertama diisi pameran jurusan desain komunikasi visual, dua minggu kedua diisi pameran desain produk, dua minggu selanjutnya diisi pameran desain interior, dan dua minggu terakhir sekaligus penutupan diisi pameran seni rupa murni dan kriya. Jadi, bagaimana denganmu? Bersedia menjadi artist di pameran atau tidak?" Gadis di hadapan Army bertanya lagi.

"Ya, kurasa tidak buruk. Temanya apa?" Army berucap seraya menganggukkan kepala.

"Stage of Self Expression, tadi teman-teman sepakat dengan tema itu," gadis itu membalas pertanyaan Army. Ia membenarkan letak kacamata pada tulang hidungnya.

"Oke, beri aku tenggat waktu, nanti akan kuselesaikan sebelum itu. Perlu berapa lukisan?"

"Dua minggu dari sekarang. Kau bisa membuat berapa dalam kurun waktu segitu?"

"Paling sedikit dua, bergantung pada agenda yang nantinya tiba-tiba datang ataupun feeling."

"Oke, ditunggu ya. Aku akan bilang pada penanggung jawab acara. Kau tak perlu menjadi panitia acara, karena dirimu menjadi salah satu artist pameran. Kau bisa menghubungiku jika perlu sesuatu," setelah berujar begitu, gadis berkacamata tersebut pergi meninggalkan Army di kelas sendiri.

Army menghela napas kasar. Jadi tadi benar-benar halusinasiku ya? Ia mengusap wajahnya pelan, mensyukuri pada apa yang baru saja terjadi. Mimpinya tak menjadi nyata ataupun suara-suara yang kian mengganggu pun bukanlah fakta. Army melihat jam pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Pukul 12.50 WIB. Sudah siang, ia bahkan tak sadar bagaimana bisa duduk di kelas saat ini. Haish, tak perlu dipikirkan!

Mentari tenggelam sedari tadi. Semburat jingga pun telah menghilang dari cakrawala, menyisakan nuansa temaram pada langit yang sepi. Udara tidak terlalu dingin ataupun panas. Biasa-biasa saja. Begitu pula kegiatan yang tengah Army lakukan saat ini, seperti biasa. Gadis bersurai hitam itu sedang melakoni lukisannya. Baginya, tema yang ditentukan untuk pameran bulan depan tidak terlalu sulit. Ia dapat mengekspresikan segala perasaannya di atas kanvas berbalut cat penuh warna. Hal terpenting dalam seni menurut Army adalah bagaimana ia dapat menuangkan suatu pesan ataupun perasaan ke dalam suatu karya yang nantinya akan dilihat khalayak ramai.

Di balik dinding rusunami tempatnya bernaung, Army duduk termenung menghadap kanvas kosong. Bersama palet warna dan kuas di tangan, ia mencoba menyelami imajinasi tak hingga. Sayangnya kelebatan masa-masa 'itu' kembali berdenyut keras, bergemuruh bak badai, menyapu isi kepala layaknya gelombang di lautan. Army kehilangan kendali atas dirinya, spontan tangannya bergerak mengarah pada kanvas putih. Warna-warna berteriak dalam kegelapan. Merah melambangkan emosi, biru sebagai kesedihan dan kekosongan, hitam melukis ketakutan yang terus melingkupi diri. Army tenggelam dalam lukisannya yang kian mengalir, membiarkan seluruh perasaannya mengambil alih gerak tangan. Lukisan itu seolah menjadi jendela pada jiwanya yang masih terluka. Lukisan itu merupakan ungkapan keluh kesah tak terduga dari lara yang tersimpan dalam relung dada. Masa-masa 'itu' masih begitu kental dan pekat secara bersamaan di dalam memori. Waktu terus berputar, menemani Army dengan aroma cat dan aroma masa lalu yang tak pernah surut.

"Aku selalu bertanya-tanya, mengapa harus dirimu yang menjadi alasan hancurnya diriku?" Army bergumam parau, matanya menatap kosong pada kanvas di hadapannya. Tangannya terus bergerak tak terkendali, mencelupkan kuas ke dalam nyalanya warna-warni di palet. Tiap sapuan kuas menggambarkan sejumput rasa di hati, deras dan membeludak bebas tanpa bisa dihentikan.

"Kenapa harus dengan cara itu?" cicitnya pelan. Matanya berkilat tajam, mencari jawaban di kegelapan yang kian membumbung tinggi. Lampu yang menggantung di atas berwarna kuning temaram, namun tak mengganggu Army sedikit pun.

Masa-masa 'itu' diputar berulang kali di layar pikiran, seperti rekam film hitam putih. Kacau! Begitu pula gambar yang terpahat di atas kanvas, mencerminkan pertanyaan-pertanyaan yang selalu bernaung di diri, namun sulit diungkapkan dalam kata-kata. Seiring berjalannya waktu, luka berkat masa lalu bukannya mengering justru semakin menganga dan menggerogoti jiwa.

"Bagaimana kabarmu di sana? Apakah kau makan dengan baik?" Army berujar serak, tenggorokannya tercekat kelu. Meski matanya berkaca-kaca, tangannya terus menggoreskan sapuan cat dan kuas di atas kanvas.

Bodohnya kau! Di saat seperti ini masih memikirkan keadaan bajingan itu!

"Bahkan seberengseknya dirimu, aku tetap mengkhawatirkan keadaanmu."

Army meremas erat kuas di tangan. Ia merasakan degup jantungnya yang berdetak kencang, emosi melanda. Seberapa keras usahanya untuk membenci pria itu, ia tak bisa. Ia hanya berusaha, namun nihil adanya. Dunia seperti menertawakan ketidakberdayaannya, baik kala itu, kini, bahkan esok hari. Penyesalan terbesar dalam hidupnya adalah perjuangan sia-sia yang telah ia rakit bertahun-tahun guna membenci setengah mati manusia biadab itu.

Malam merambat naik, dua kanvas telah selesai dengan sempurna. Army memejamkan matanya sejenak. Palet penuh emosi, lukisan yang mengolok-olok dirinya, juga sebuah kanvas baru yang belum tersentuh.

"Stage of self expression, kan?" Army terkekeh pelan, "Baiklah, mari lanjutkan untuk satu kanvas kosong ini!"

Army meraih botol cat di atas meja. Kemudian membuka tutup pada botol tersebut dan melempar isinya ke atas kanvas kosong. Tangan bersihnya terulur ke arah kanvas, menciptakan pola abstrak tak beraturan tanpa bantuan kuas. Ia menundukkan kepala, merenung sejenak pada apa yang baru saja ia lakukan. Bukankah temanya adalah mengekspresikan diri? Berarti aku bebas menggambarkan perasaanku dalam sebuah lukisan, kan?

Waktu seolah bergerak cepat sekali. Army menggores lengan atasnya dengan cutter, mengusap darah yang mengucur, lalu memberi gradasi baru pada pola abstrak di atas kanvas. Lukisan yang sebelumnya berwarna hitam abu-abu, kini memiliki nuansa merah darah di atasnya. Army semakin gencar melukai bagian tubuh yang lain, memoles darahnya pada gambar untuk mempercantik maha karyanya. Ia bagai manusia yang hilang akal, bergerak lincah, dan penuh semangat. Ketika kanvas ketiga selesai, sang surya telah muncul di ufuk timur. Fajar telah tiba, hari mulai esok. Army mengusap peluh di wajah. Matanya menatap tiga kanvas yang ia rampungkan dalam satu malam. Lukisan-lukisan ini menjadi cerminan perjalanan emosinya sepanjang malam. Sedih, marah, kehilangan, bahkan keputusasaan.

Sempurna, seperti suratan takdirku.



February, 8th 2024

To be continued

ColouringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang