Bagian 5

84 37 67
                                    


"Bagaimana makanan tadi, enak, kan?" Ruby menaik turunkan alisnya sekaligus mengalihkan atensinya pada Army. Netranya menatap ke arah Army yang mengangguk mengiyakan. Setelah kejadian yang beberapa waktu lalu terjadi, Ruby mengajak Army untuk menginap beberapa hari di rumahnya. Bahkan dulu ia meminta Army untuk tinggal bersamanya. Sayang sekali, Army menolak. "Aku terbiasa hidup sendiri. Jadi rasanya sedikit aneh bila harus serumah berdua denganmu," begitu jawaban Army kala itu. Ruby tak ingin memaksa karena ia tahu bagaimana karakter sobatnya. Hingga kini, mereka tinggal masing-masing meski terkadang menginap beberapa hari. Ruby juga merasa demikian, hanya saja terkadang rasa kesepian terbit secara tiba-tiba. Ia tinggal berdua dengan sang bunda, namun karena pekerjaan, bundanya lebih sering pergi ke luar kota dan pulang ke rumah beberapa hari. Hanya hari-hari tertentu ibunya benar-benar bisa tinggal di rumah lebih lama. Sudah empat bulan berlalu, sayangnya sang bunda belum memberi. kabar meski sekali.

"Berapa hari?" Army tiba-tiba bersuara, membuyarkan lamunan Ruby.

"Ekhem, bagaimana jika seminggu?" Ruby menimpali, kemudian melanjutkan, "Ayolah, kumohon! Aku sungguh-sungguh kesepian, Army."

Army menghela napas kasar. Setelah itu, ia menganggukkan kepala seraya mengulas senyum tipis. "Oke. Hanya seminggu," tegasnya. Ruby bersorak riang, ia senang. Setelah bertahun-tahun mereka saling mengenal, baru kali ini Army tak menolak keinginannya untuk menginap selama seminggu. Biasanya hanya sehari atau dua hari saja.

"Oke, Army. Sekarang waktumu untuk istirahat. Aku akan membangunkanmu ketika waktu makan malam tiba," Ruby berujar seraya mendorong pelan bahu Army, mengarahkannya berbaring ke atas ranjang. Lalu ia menghilang ditelan pintu kamar, meninggalkan Army sendiri di dalam ruangan tersebut yang tak lama tenggelam dalam lelapnya.

Seharusnya begitu. Sayangnya, baru beberapa menit ia menutup mata, suara pecahan kaca yang beradu dengan lantai terdengar nyaring menyapa gendang telinga. Terpaksa rasa kantuknya menghilang tak bersisa, menyisakan keterkejutan yang kian menggila memacu jantung. Army terbangun dan tergesa menuju ke arah sumber suara. Ketika pintu terbuka, irisnya langsung disuguhkan Ruby yang tengah bersimpuh di atas lantai. Bahunya bergetar hebat.

"Ruby," Army memanggil dengan suara parau efek bangun tidur. Kakinya melangkah pelan menghampiri sang sahabat. Ia tergugu, Ruby menangis! Suaranya tercekat menahan kelu sebab tangis yang terus beradu, mengalirkan air mata yang berlarian di kedua pipi. Army bersimpuh di lantai, menyeimbangkan tubuhnya dengan Ruby. Tangannya terulur, menenggelamkan sosok di hadapannya ke dalam lingkar lengan. Army memeluk Ruby, berharap dapat menenangkan sang sahabat yang tengah kalut. "Tenang, oke. Ada aku di sini," berulang kali ia menggumamkan kalimat yang sama. Bahu Army basah, jejak-jejak air mata tercetak jelas di pakaiannya. Setelah dirasa keadaan sang sobat tenang, Army melepas pelukannya perlahan.

"Sekarang katakan. Apa yang sedang terjadi padamu, Ruby?" Bisa Army lihat wajah sembab Ruby. Genangan air mata berkumpul di pelupuk, siap tumpah kapan saja. Ruby menggelengkan kepala.

"Kau sedang tak baik-baik saja. Padahal beberapa waktu lalu kau tertawa, seolah tak terjadi hal buruk. Lalu sekarang apa?" Army menatap lekat sang sahabat, meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Army, kau bisa menyetir mobil?" Bukannya menjawab, Ruby justru melayangkan pertanyaan pada sosok di hadapannya.

"Tidak, tapi jika kau ingin keluar, aku akan memesan taksi online. Tentu keluar bersamaku."

Ruby mengangguk mengiyakan. Tenaganya seolah tersedot habis, ia lemas seketika. Dengan sigap, Army memesan taksi di salah satu aplikasi pada gadgetnya.

ColouringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang