Bagian 7

60 28 61
                                    


"Ada apa denganmu? Itu Safir lho," Ruby berujar heran. Matanya melirik Army yang berada di sebelahnya.

Huh... Army menghela napas pelan, lalu menggelengkan kepala. Ia memilih untuk menutup rapat gundah gulana dalam hati. Maafkan aku, Ruby. Army menatap sekilas eksistensi sang sahabat. Ia mengulas senyum tipis pertanda 'aku baik-baik saja'. Belum saatnya kau tahu, mungkin lain waktu aku akan menceritakan semuanya padamu. Setidaknya hingga ia benar-benar siap untuk mulai bercerita.

Kedua sejoli tersebut beriringan menuju taman depan gedung fakultas seni pertunjukan. Sesampainya pada salah satu bangku taman, Army dan Ruby mendudukkan diri dan segera memakan sarapan mereka. Ruby melihat layar smartphonenya, jam di sana menunjukkan pukul 07.13 WIB. Masih tersisa tujuh belas menit bagi Ruby dan empat puluh tujuh menit bagi Army sebelum kelas keduanya dimulai. Sesekali mereka melempar lelucon seraya menghabiskan sarapan.

"Kau tahu, ini aku yang masak," ucap Ruby seraya membusungkan dada, menyombongkan diri. "Enak, kan?"

Army mengangguk saja mendengarnya. Mulutnya masih sibuk mengunyah, ia tak terlalu mendengarkan ucapan sang sahabat. Sarapan yang dibawa Ruby berisi omurice—makanan ala Jepang, serta sepotong buah semangka dan dua butir anggur. Ruby juga membawakan sekotak oat milk. Sangat sehat dan mengenyangkan perut. Army tak yakin dapat menghabiskan semuanya. Saat ini saja ia berusaha setidaknya menghabiskan omurice yang dibawakan Ruby. Sedangkan Ruby, kotak makan di tangannya telah kosong. Gadis itu tengah menyeruput habis oat milk. Army menatap ngeri ke arah sang sahabat.

"Apa?" Ruby yang merasakan tatapan dari arah sebelah seketika bertanya. "Cepat habiskan makananmu. Aku duluan ya. Dosenku sebentar lagi akan masuk," Ruby mengusap pelan bahu Army, kemudian pergi meninggalkan Army di taman seorang diri. Sebelum tubuh mungilnya tenggelam di balik tembok gedung, Ruby berujar keras, "Kau berhutang penjelasan padaku terkait kejadian tadi ya!" Matanya mengerling jahil dan tak lama benar-benar hilang dari pandangan.

Army mengusap wajahnya kasar. Ia memilih menutup kotak makan yang belum habis dan memasukkannya ke dalam tote bag. Rencananya akan ia selesaikan siang nanti. Lumayan, menghemat uang saku, batinnya. Kakinya melangkah menuju ke arah gedung fakultas seni rupa guna mengambil berkas-berkas yang diberikan dosen untuk kunjungan hari ini. Kelas kali ini outdoor. Dosen memerintahkan untuk mengunjungi salah satu pameran seni di Cemeti Art House dan mempresentasikan hasilnya pada pertemuan selanjutnya. Dokumentasi, observasi detail, teknik, dan bahan karya, menganalisis karya yang ditampilkan, serta menginterpretasikan karya yang dilihat berdasarkan refleksi diri masing-masing. Tugas dikerjakan secara mandiri, namun dipresentasikan secara berkelompok. Army cukup bersemangat untuk kesempatan yang cukup jarang ini. Lebih baik ia segera pergi sebelum bertemu dengan orang-orang tak penting seperti Safir. Mengingatnya saja cukup membuat mood turun tak karuan.

Cahaya mentari tak terlalu terik. Army berangkat menuju tempat tujuan bersama Jingga. Ia harap ia dapat menemukan inspirasi baru di sana. Perjalanan yang ditempuh kira-kira lima belas menit lamanya. Ketika sampai di Cemeti Art House, Army bersamaan dengan Jingga disuguhkan dengan berbagai karya seni yang memanjakan mata. Sapuan kuas yang berani dan penuh dengan ritme eksplorasi warna. Lukisan-lukisan di sana bak palet hidup berbentuk gradasi warna-warni di atas kanvas. Terpesona! Itulah yang tengah Army rasakan saat ini.

Oranye matahari, merah bagaikan kelopak bunga mawar, dan biru selayaknya cakrawala di atas sana.

Cekrek! Suara jepretan kamera menyapa gendang telinga. Army—sang pelaku pemotretan, berjalan seraya mengagumi semua yang merasuki indra penglihatannya. Momen hari itu ia abadikan dalam bingkai gambar kamera. Lensanya menangkap cahaya yang ada, menggenggam erat detik yang tak akan pernah kembali lagi.

ColouringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang