Bagian 9

75 43 108
                                    


Pilu meremas tenggorokan Army, bagaikan tangan tak kasat mata yang mencekiknya hingga nyaris tak bisa bernapas. Air mata menggenang di pelupuk, siap menerobos bendungan pelupuk dan mengalir bebas di pipinya. Namun, sang pemilik tak ingin mereka berlarian di kedua pipi. Bayangan masa kecil yang kelam terpatri dalam ingatan. Seorang anak kecil yang ketakutan dan terluka, dirampas kehormatannya oleh monster yang tak berhati. Luka itu tak pernah sembuh, dan dendam pun berkobar di dalam hatinya.

Di atas tembok dingin yang memisahkannya dengan dunia luar, Army duduk bagaikan patung batu. Sebilah pisau tajam tergenggam erat di tangan, siap menghunus pada perusak mahakaryanya. Dada, sosok yang dibencinya sepenuh hati. Jantung Army berdetak kencang, darahnya berdesir bagai aliran lava panas. Isak tangisnya mengeras seiring berjalannya detik demi detik. Bukan, bukan ini yang ia harapkan!

Hari masih pagi, ia tenggelam dalam lautan artikel berita yang membahas pameran karyanya di kampus. Tiga minggu telah berlalu dan beberapa hari ini karya-karyanya sudah dipajang. Pujian mengalir bagaikan air sungai yang jernih. Sejenak Army merasa senang, sayangnya kebahagiaan itu bagai fatamorgana yang mudah sirna. Tiba-tiba, Army dikejutkan oleh kehadiran tak terduga. Pintu rusun tak dikunci, sisa dari aktivitasnya membuang sampah di lantai bawah. Saat ia hendak kembali masuk, matanya terpaku pada sosok pria yang selama ini menghantui mimpinya. Kini, ia tepat berdiri di hadapannya.

Tanpa sadar, Army meraih sebilah pisau yang terletak di dekatnya. Matanya berkilat tajam dengan api amarah, siap menghunjam senjata itu ke arah pria yang telah merenggut kebahagiaannya. Akan tetapi, hal yang terjadi selanjutnya benar-benar meruntuhkan emosi yang menggelora. Bukan seperti ini yang ia bayangkan! Bukan sosok Dada yang bersimpuh penuh penyesalan di hadapannya. Bukan begini!

Air mata terus mengalir, bukan lagi air mata kemarahan, tapi air mata penyesalan dan keputusasaan. Ia tak tahu lagi harus berbuat apa, hatinya hancur berkeping-keping. Dendamnya tak terbalaskan, menguap tak bersisa. Army terjebak dalam jurang dilema, antara dendam dan putus asa. Ia tak tahu jalan keluar dan hanya bisa meratapi nasibnya yang tragis. Dirinya menyerah, seumur hidup ia tak akan bisa membenci Dada. Se-binatang apa pun kelakuan pria itu di masa lalu, hingga tangis darah Army berusaha menumbuhkan kebencian, namun jauh di lubuk hatinya, ia tetaplah gadis kecil pria itu. Menyayangi dan khawatir dengan keadaan Dada di balik jeruji besi sebelumnya.

Dada melangkah mendekat. Tangan besarnya terulur meraih lengan mungil princess-nya. Ia cukup tahu apa yang ingin dilakukan putri kecilnya ini. Aku memang pendosa hebat yang mustahil dimaafkan. 

"Lakukan! Cepat tikam diriku!" Ia mengarahkan ujung runcing belati tersebut ke arah dada, tepat di mana jantungnya berada. "Ini! Habisi pria brengsek ini! Biarkan aku sekarat dan pergi ke neraka sana!"

"Tidak!" Army menggeleng kuat. Ia menarik cepat tangannya. Tungkai kakinya mundur segera, menjauhi eksistensi Dada yang tampak rapuh nan menyedihkan. Bulir-bulir kembali menguasai pipi.

"Kenapa kau kembali! Pergi sana! Bajingan sepertimu tak pantas menampilkan wajah seperti itu!" Army berteriak histeris. Kakinya melemah, rasa-rasanya ingin limbung. "Kau pendosa! Hina...." Ia tercekat, kesulitan meraup napas dan melanjutkan kalimatnya. "....Kau, kau hina!" Suaranya melirih di akhir kalimat. Perasaannya tak sanggup melemparkan kata-kata jahat lagi. Terlebih kala irisnya menangkap Dada bersujud di kedua kakinya.

Tidak! Mengapa kau membuatkan merasakan perasaan ini! Dilema menyiksanya, bagaikan badai yang mengamuk dalam jiwanya. Haruskah dendam selamanya bertahta di hati? Ataukah ia perlu menarik keluar sosok kecil nan belia dari jurang neraka tempat ia mencampakkannya? Di satu sisi, egonya masih berapi-api, menuntut keadilan atas luka yang tak kunjung sembuh. Di sisi lain, rasa kemanusiaannya berbisik, memintanya untuk menunjukkan belas kasih dan memberi kesempatan kedua bagi Dada. Hatinya berperang melawan dirinya sendiri. Dendam dan penebusan dosa beradu sengit, menentukan nasib Army dan Dada. Di tengah pergolakan batin, Army teringat masa kecilnya, masa-masa indah yang hancur berkeping-keping karena perbuatan Dada. Air mata mengalir tanpa henti, membasahi pipinya yang pucat. Dia teringat rasa sakit, ketakutan, dan rasa malu yang dialaminya. Luka-luka itu masih membekas di jiwa, terasa perih setiap kali dia mengingat masa lalu tersebut.

ColouringTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang