Setelah sampai di rusunami miliknya, Army berlari tergesa menuju kamar. Ia meletakkan tote bag seraya mendudukkan dirinya di atas kasur. Tangannya meraih segelas air di nakas sebelah kasur, kemudian menegaknya hingga tandas.
Pyar!
Pecahan kaca beradu dengan dinding kamar, menimbulkan suara nyaring di tengah heningnya suasana. Army menatap hampa pada segelas kaca yang telah ia lempar hingga hancur berkeping-keping. Siluet memori masa lalu berkelebatan di kepala satu persatu. Tentang Dada, penolakan sang ibu, serta suara-suara asing yang senantiasa menemani.
Sret. Sret. Sret!
Berawal dari satu-dua goresan, kemudian menjadi goresan-goresan melintang abstrak memenuhi permukaan tubuh. Army melampiaskan rasa frustrasinya di atas kulit tubuhnya. Setiap satu suara yang berseliweran menambah satu garis tak beraturan pula di tubuh. Nuansa merah kecoklatan menambah warna di tengah rasa sakit yang mendera. Meski banyaknya darah pekat yang mengucur, namun rasanya tak sebanding dengan penderitaan yang telah dialami hingga saat ini. Army sakit! Gila rasanya bila tak dilampiaskan pada permukaan kulit.
Sret.
Satu garis tak beraturan ia torehkan pada lengan atas, menciptakan luka baru di atas luka lama yang belum sepenuhnya mengering. Luka-luka yang tercipta bagaikan lukisan yang bersemayam di atas kulit. Pecahan kaca yang setia berada dalam genggaman mengarah pada pergelangan tangan. Langkah terakhir, kemudian semuanya akan berlalu dan hilang bak ditelan takdir. Lalu penderitaanku berakhir sampai di sini. Army tersenyum tipis, membayangkan akhir indah dan sirnanya lara yang telah merengkuh hari-harinya. Dengan bergetar, ia menggores pecahan kaca tersebut tepat pada nadi di tangannya.
"Hai, Army. Berangkat bareng, yuk!" Suara-suara baru menggema, menarik paksa Army dari fantasi gilanya. Itu suara Ruby!
"Hei, Dear. Are you okay?" Satu persatu silih berganti memenuhi gendang telinga. Menciptakan rasa bimbang di hati.
"Aku kan sudah bilang! Jika kau punya masalah, jangan sok kuat! Kau punya aku, berlarilah padaku dan ceritakan rasa gundah di hatimu! Tanganku selalu terbuka untuk merengkuhmu, bahuku selalu siap sedia untuk menampung tangismu!" Bahkan teriakan nyaring Ruby yang penuh akan sirat emosi masih terdengar jelas, seolah Ruby baru saja mengatakannya dan tengah berada bersama Army.
"Tidak, apa yang aku lakukan?" Army melepaskan pecahan kaca di tangan, urung menggoreskannya pada pergelangan tangan. Netranya bergetar, menatap sekeliling tak tentu arah. Ia merasa seolah tengah diawasi dan dihakimi dunia berkat dosa-dosanya. Ia menundukkan kepala, luka-luka yang telah ia ciptakan menjadi saksi bisu mengapa ia harus dihukum oleh Tuhan. Army menggelengkan kepala kuat-kuat. Tidak, apa yang sudah aku lakukan?
"Aku selalu di sini, kau tak perlu khawatir, Dear," suara-suara Ruby kembali memenuhi kepala, menimbulkan rasa sesak yang menggelora di dalam dada. Mata Army memanas, namun tak ada air mata yang mengalir dari sana. Satu-satunya alasan mengapa ia bertahan hingga saat ini adalah
Ruby, sahabat terbaiknya.
"Ya Tuhan, maafkan aku, Ruby," cicit Army sebelum kesadaran terenggut dari tubuhnya.
☻
Army tergugu menatap refleksi dirinya yang terpantul pada cermin. Ia tersenyum remeh menatap objek di hadapannya. "Apa aku terlihat menyedihkan?" Tawa keras menyembur begitu saja dari bibirnya, ia terpingkal hingga menutup mulut guna meredam suara yang tercipta. Lihatlah dirimu! Betapa kacaunya penampilanmu! Army kembali tergelak, terlebih melihat beberapa helai rambut yang sempat ia cabut sebelumnya. Terlarut dalam suasana mengakibatkan pikirannya berdistraksi liar tak tentu arah. Pikiran-pikiran bahwa ia tengah bercinta dengan Dada menghampiri tak lama kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colouring
Teen FictionWarna-warni kisah hidup membentang luas di atas kanvas tak terbatas, dihiasi oleh sapuan waktu membentuk pola unik nan rumit. Terkadang kita menjadi seorang seniman yang berjiwa bebas, melepaskan angan dan asa dalam palet emosi yang penuh nuansa. Ke...