𝙻𝚎𝚖𝚋𝚊𝚛 𝙺𝚎-𝚜𝚎𝚙𝚞𝚕𝚞𝚑 ; Berjuang sedikit lebih lama lagi.

368 41 4
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"DASAR ANAK BODOH!! PEMBAWA SIAL!!"

Sadipta tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa di dalam hati untuk keselamatan nya.

Tubuhnya terlempar mengenai rak buku, hingga semua Buku-buku itu terjatuh. Ada beberapa yang mengenai kepalanya, tetapi remaja itu hanya diam tak beranjak sama sekali.

Waktu belum berjalan satu menit, namun wajah Sadipta sudah benar-benar babak belur.

Luka yang semula di obati kini kembali bertambah lagi.

Haris semakin terus-terusan menghajar adiknya dengan membabi-buta. Menghiraukan, pelipis sadipta yang sudah mengeluarkan darah.

Sedangkan mahesa, Pria itu hanya menonton tanpa membantu Sadipta sedikitpun.

"a-abang sudah.. Ini.. Sakit.."

Haris menyeringai, "sakit? INI SAKIT?! TERUS JIDAN GIMANA?! Lo gak mikir!! Dasar anak sialan!!"

Tanpa rasa kasihan–nya, Haris menendang tepat pada uluh hati Sadipta. Membuat si korban terbatuk keras hingga mengeluarkan darah.

Sadipta tidak melawan atau mengucapkan satu kata pun, anak itu hanya tersenyum hingga membuat keduanya tanpak tertegun.

Senyuman itu.

Mirip sekali dengan Amerta.

"Haris sudahlah, tinggalkan saja anak ini" ujar mahesa

Haris mengganguk. Lalu, berjalan meninggalkan Sadipta yang tergeletak tak berdaya di lantai kamar nya.

Pukulan dari Haris memang selalu nya sakit. Tetapi, makian yang di keluar kan oleh kakaknya itu lebih sakit.

Tubuh nya benar-benar remuk sekarang. Sakit? Tentu saja.

Hingga terdengar suara Adzan Maghrib yang menggema di seluruh penjuru kota. Ia mencoba untuk bangkit, dan—



Bisa!



Walaupun langkah nya agak sedikit gontai. Tetapi, remaja itu berjalan ke arah kamar mandi untuk melakukan wudhu sebelum mengerjakan sholat Ashar terlebih dahulu

Menahan rasa sakit yang ia dapatkan dari kakak sulung nya membuat tubuh nya benar-benar remuk.

Tetapi, rasa untuk menunaikan ibadah tidak hilang sampai kapanpun.

....

Selesai menunaikan ibadah nya.

Kini, di atas sajadah menghadap jendela yang masih terbuka Sadipta mengangkat kedua tangan nya seraya memandang gelapnya langit tanpa bulan dan bintang. Ia melambungkan bait-bait nestapa pada sang Pencipta. Dan, tanpa sadar bulir bening miliknya mengalir begitu saja.

"Ya Allah... Dipta, rindu bunda di sini.." Lirihnya dengan suara serak.

"Dipta ini beban ya? Apa dipta ini beban bagi engkau?"

Sadipta Dan Kisahnya. Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang