Bab 1 (wonggi)

118 6 0
                                    

Setelah aroma petrikor berlalu. Kini aroma khas rerumputan yang menyeruak tajam. Menghadirkan kesegaran dari sisa tepukan hujan di tanah wonggi, papua selatan.

Hatiku tertawan disini dan saat project yang aku dan kesembilan sejawatku telah usai. Hatiku masih tertinggal, hingga kembalilah mereka ke kota masing-masing tanpa diriku. Terlebih saat Kak Sri yang merupakan kepala puskesmas disini meminta tolong untuk menggantikannya beberapa hari selagi dia ke Mappi menjenguk anaknya yang tengah di rawat karena muntaber. Tentulah hal ini kusambut dengan senang hati.

Wonggi punya daya tarik tersendiri. Punya daya pikat yang membuatku seolah tersihir dengan pesonanya. Aku menemukan keindahan, ketenangan dan kedamaian yang tak kudapati dari beberapa tempat yang pernah ku singgahi sebelumnya.

2 tahun yang cukup berkesan hingga sayang untuk diakhiri meski harus.

Jangan cari kecanggihan dan perabadaban yang serba modern disini. Disini masih sangat sederhana, tapi disitulah letak perbedaan yang membuatku betah.

Seluruh warganya ramah. Kami di terima dan di perlakukan dengan sangat baik hingga seluruh program yang menjadi tugas kami disini berjalan dengan sangat baik dan lancar tanpa ada hambatan yang berarti. 

Notifikasi di ponselku sedari tadi bersaut-sautan. Tumpang tindih antara room chat alumni SMA ku yang sebentar lagi akan mengadakan reuni dan chat dari Bunda. Tanteku yang seolah paling perihatin di umurku yang sudah menginjak 30 tahun, tapi belum juga menemukan pasangan hidup.

Rumah bunda dan kota seperti momok yang menyeramkan untuk kuhadapi setelah pulang nanti. Hati ini seperti menolak untuk kembali pulang, terlebih saat bunda semakin getol untuk menjodohkanku dengan kerabat temannya. Seorang duda kaya raya, pemilik banyak usaha yang telah tersohor namanya dan sudah go internasional.

Jika saja bukan karena hutang budi kebunda karena telah merawatku sedari kecil. Mungkin sudah lama ku tinggalkan rumah itu.

Semakin dewasa, aku merasa semakin tak menemukan kenyamanan disana. Aku mulai merasa kalau kehidupan yang ku jalani disana mulai menjadi toxic yang akan memberi dampak buruk. Cepat atau lambat.

Dan soal jodoh. Aku jadi ingat dengan ujaran random teman sekelasku. Beberapa hari sebelum dia pindah sekolah karena ikut ayahnya tugas ke daerah lain.

"Ra, kalau aku lulus menjadi Tentara. Aku janji akan menikahi kamu," ucap Jaya di kala itu.

Aku masih ingat betul. Bagaimana kalimat itu cukup membuatku terheran-heran sampai melongo. Secara aku dan Jaya yang waktu itu statusnya sekelas tapi sangat jarang mengobrol dan di tambah lagi hubungan kami yang tidak akrab-akrab banget menjadikan kalimat itu terasa aneh untuk di dengar. Entah itu serius ataukah hanya candaan, namun aku sempat meyakini hal itu dan melupakannya beberapa tahun kemudian setelah kabar tentang dirinya beredar di grup chat sekolahku dulu. Dia telah menjadi Tentara sekarang. Bodohnya aku yang sempat percaya saja dengan bualan itu dan saat kurasa mustahil, akupun mulai melupakan kalimat random itu. Toh memang dia telah menjadi taruna dan tidak mencariku sedikit pun. Apa namanya kalau bukan bualan saja.

"Awwe, disiniki ternyata," sapa seorang pria sambil memberhentikan kendaraan roda 3 nya tepat di sebelahku.

Pak Daeng. Begitulah kami menyapa bapak tentara kelahiran Makassar yang peramah dan baik hati ini. Dia sudah kuanggap Abang sendiri semenjak bertugas disini.

"Mau kemana Pak Daeng?"

Pak Daeng tersenyum. Umurnya hanya selisih beberapa tahun dariku. Belum tua-tua amat untuk di panggil "Pak", lebih ke panggilan hormat warga sekitar untuknya yang sudah beberapa kali di tawari pindah oleh komandannya namun dia masih enggan meninggalkan tempat ini. Kayanya, dia sudah sangat nyaman disini.

Pak Komandan. Cerita sepenggal senja di wonggi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang