Bab 6 (Bertemu duda kaya)

40 1 0
                                    

Beberapa hari setelah kegiatan bakti sosial itu. Jaya menghubungiku lewat whatsApp. Bertanya kabar, lalu kemudian menanyakan apakah aku akan hadir di acara reuni sekolah kami? Cukup kaget tentu iya. Pertama, kira-kira dia dapat nomerku dari mana? Lalu yang kedua, dia menanyakan tentang lehadiranku di acara reuni akbar itu? Untuk apa? Apa ini hanya sebuah pertanyaan basa-basi pada umumnya? Atau pertanyaan yang memiliki arti ambigu? Bertanya sekalian mengajak? Akh ke ge-eran sekali aku. Lihat dulu. Mungkin bukan aku sendiri saja di kirimi pesan WhatsApp semacam itu. Mungkin saja Wina "kembang sekolah" atau Rina si cewek paling gaul zaman sekolah dulu. Juga dapat pesan serupa.

Aku membalas sewajarnya. Sejujurnya aku sedang Bad mood lantaran Bunda yang terus mendesak agar aku bertemu dengan pria tersebut. Pagi, siang dan malam, bunda mengomel tanpa henti jika aku sedang di rumah. Ujung-ujungnya selalu tentang pria tersebut. Bahkan yang membuat sakit hati. Bunda menyangkut pautkan sampai ke balas budi dan kemanakan yang tidak tahu dirilah, sok jual mahalah dan umurku yang sudah hampir "magrib" katanya. Kupingku panas karena itu, begitu juga dengan hatiku. Hingga aku sempat berpikir, apa sebaiknya ku terima saja ajakan bunda untuk bertemu dengan pria tersebut. Sekadar bertemu saja untuk menyenangkan hati bunda. Setelahnya aku bisa membuat alasan macam-macam. Entahlah bukan tipe, pria tersebut begini dan begitu.

Aku masih setengah sadar saat bunda terdengar memanggil-manggil namaku disertai ketukan pintu yang terdengar sangat tidak santai dari depan. Kulirik ponsel yang kuletakkan di sebelah bantalku. Masih subuh. Ada apa gerangan.

"Ra, tidak bisa. Ini tidak bisa di tunda lagi."

Bunda langsung masuk saat aku selesai memutar kunci dan dengan semangat berujar.

"Tunda? Maksud Bunda?"

"Pria itu akan keluar negeri besok pagi dan akan stay di sana dalam waktu yang lama. Pokoknya Bunda sudah mengatur pertemuanmu hari ini juga dengannya."

Kantukku hilang seketika.

"Tidak bisa begitu dong Bun. Hari ini aku ada reuni sekolah."

"Ah, lalu-lalu. Kamu juga tidak hadir di acara reuni," sanggah Bunda.

"Yang lalu tidak hadir, bukan berarti tahun ini tidak juga kan bun?"

"Pokoknya bunda tidak mau tahu, hari ini juga kalian harus bertemu. Sangat susah mencari jadwal kosong pria tersebut."

"Lalu reuniku?"

"Tahun-tahun depan kan masih bisa. Ini kesempatan emas yang akan merubah masa depanmu. Ingat ya, kesempatan ini tidak datang dua kali. Banyak diluar sana yang ingin sekali mendapat kesempatan ini."

"Bunda kan tahu, aku aku sudah bilang berapa kali. Soal jodoh tidak usah dipaksakan. Akan datang di waktu dan orang yang tepat."

"Memang kamu kira umurmu berapa untuk bisa berbicara senyantai itu. 30 tahun. Umur yang seharusnya kamu mulai was-was."

"Aku sangat tidak ingin berdebat Bun. Begini saja, kita buat kesepakatan soal ini."

"Kesepakatan?"

Aku mengangguk.

"Ok. Pertama, aku bersedia bertemu dengannya hari ini. Tapi aku akan hadir juga di reuniku."

Bunda terdiam menyimak perkataanku.

"Kedua. Kami hanya bertemu. Soalny nanti bagaimana, cocok tidaknya. Aku mohon Bunda tidak lagi mencampuri. Biar kami yang memutuskan."

Dahi Bunda berkerut. Semacam tidak sepaham degan ideku.

"Bagaimana deal?" Tanyaku memastikan.

"Ini kesepakatan macam apa?"

"Ya sudah, aku tidak mau bertemu dengannya."

Pak Komandan. Cerita sepenggal senja di wonggi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang