Bab 8 (Demi apa)

21 2 0
                                    

Aku menutup pintu setelah bertemu dengan dua orang pria berbadan kekar yang sedang mencari Bunda. Entah apa urusan Bunda dengan mereka. Kata Nadia, akhir-akhir ini banyak orang yang mencari keberadaan Bunda namun tak diketahui apa maksud kedatangan mereka. Ya memang, belakangan ini usaha bunda memang tak selancar dulu. Kerjaan yang dulunya membuat Bunda kewalahan saking banyaknya sampai tidak bisa di handle semua dan harus di take over ke orang lain. Semenjak setahunan ini mulai sepi. Paling cuma ada 1 atau 2 kerjaan saja. Itupun project buangan perusahaan lain hingga berujung beberapa pekerja harus di rumahkan dan semenjak itu. Pengeluaran rumah tangga, aku yang menghandle.

Meski gajiku tak banyak dan tak tentu semenjak kontrakku selesai. Setidaknya, aku bisa sedikit meringankan beban Bunda.

"Nyariin Bunda lagi?" Tanya Nadia, saat aku masuk ke kamarnya.

Aku mengangguk. Lalu duduk di kasur dekat Nadia yang sedang sibuk memainkan ponselnya. Ku perhatikan wajahnya dengan seksama. Ada luka lebam di dekat bibirnya. Ini sudah yang kesekian kalinya selain lebam di lengan, paha dan pelipisnya yang kulihat beberapa hari yang lalu.

"Lebam lagi? Habis kejedot dimana lagi?"

Nadia hanya nyengir. Ku perhatikan lagi dengan seksama wajahnya sampai Nadia protes dan sedikit menjauh dariku.

"Kayaknya bukan bekas kejedot?" Tebakku.

"Apaan sih Kak, orang kemarin habis kebentur di pintu," tampiknya.

"Bisa gitu ya?" Aku masih dengan kecurigaanku.

"Beneran." Nadia mencoba meyakinkan namun rasanya sulit untuk ku terima. Semenjak berpacaran dengan Alex. Nadia menjadi sedikit berbeda. Hidupnya jadi tidak beraturan, sering bohong dan jadi tidak terkontrol. Bahkan akhir-akhir ini ku perhatikan, badannya jadi semakin kurus saja. Entah apakah karena diet ketat yang di jalaninya ataukah karena faktor lain.

Nadia melompat ketoilet. Disusul bunyi air keran yang sedikit menyamarkan suara dari dalam toilet.

Aku menghampiri pintu toilet. Penasaran dengan apa yang terjadi di dalam. Nadia keluar dengan wajah sedikit pucat beberapa menit kemudian.

"Muntah?"

Nadia mengangguk sambil memegangi pinggangnya.

"Keknya aku butuh obat maag. Sepertinya asam lambungku kumat."

"Makanya tidak usah diet-diet segala. Orang sudah kurus begitu."

"Alex suka cewek yang langsing."

Aku cuma bisa geleng-geleng. Tak tahu lagi harus berkata apa pada bocah bucin seperti dia. Di nasehatipun susah. Tidak akan masuk.

"Alex sepertinya tukang ngatur."

"Bukan tukang ngatur tapi cinta itu namanya," bela Nadia sambil naik ke kasur.

Aku memakaikan selimut.

"Cinta kok toxic gitu."

"Ah, kakak tahu apa soal cinta. Orang jomblo gitu."

"Jangan salah, gini-gini aku sudah khatam teori jatuh cinta dan mencintai. Tinggal tunggu orang yang tepat saja."
Kataku sambil beranjak ke lemari obat di luar kamar lalu masuk kembali memberi Nadia obat tersebut.

"Mau kemana Kak?"

"Mau ke kamar---mau tidur."

"Yah padahal aku mau ngobrol banyak."

"Besok-besok kan bisa. Mau istirahat. Jam 4 subuh mau jalan keluar kota buat hiking."

Nadia meng ok saja.

Pak Komandan. Cerita sepenggal senja di wonggi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang