Bab 3 (Sampai Jumpa)

39 3 0
                                    

Aku berjalan cepat saat ku lihat dari kejauhan, pintu rumah Kak Sri terbuka lebar.

Aku mencoba mengingat-ingat, apakah tadi pagi aku lupa menutup dan mengunci pintunya? Perasaan, sebelum pergi. Hampir dua kali aku mengecek dan memastikan apakah pintunya sudah terkunci dengan baik atau tidak.

"Kak Sri!" Seruku di depan pintu.

Dia berbalik saat mendengar namanya ku sebut.

"Anak Kak Sri sudah sehat?"

Dia lalu meletakkan gelas berisi air putih diatas meja, lalu menghampiriku.

"Alhamdulillah sudah baikan. Kamu dari mana? Ponselmu tidak aktif?"

Aku mengangguk sambil meletakkan tas bekal di samping kursi.

"Sejak kemarin Nadia berusaha menghubungimu tapi tidak pernah tersambung,"

"Sengaja Kak," potongku.

"Jadi dia menelepon ke nomerku. Tadinya ku kira signal yang sedang bermasalah disini hingga kuputuskan untuk pulang saja untuk menyampaikan pesan ini langsung."

Deg, seketika aku menjadi menyesal. Mengapa aku harus mematikan ponselku berhari-hari hingga Kak Sri jadi harus repot-repot cepat kembali karena telepon dari Nadia.

"Pesan?"

Kak Sri mengangguk.

Aku buru-buru masuk kekamar dan mengaktifkan ponselku. Kabar apa gerangan yang membuat Nadia sampai harus menelepon Kak Sri yang entah Nadia dapat nomernya dari mana.

Ada 30 panggilan tak terjawab dari nadia dan 10 panggilan panggilan tak terjawab dari bunda. Ini pasti ada yang urgen. Segera saja kutekan dial pada nomer Nadia.

"Hallo Kak,"

"Ada apa Nad?" Tanyaku.

Nadia tergugu di seberang sana.

"Nad?" Panggilku.

"Kakak pulang. Bunda jatuh di kamar mandi dan sempat tidak sadarkan diri. Ini sedang d rawat di Rumah sakit. Bunda nyariin kakak terus." Jelas Nadia.

"Ok. Secepatnya Kakak pulang." Tutupku.

Kak Sri mendekat dan mengusap kepalaku. Aku terdiam beberapa saat. Merenung sekaligus bersedih.

"Waktu itu tiba, besok pagi aku sudah harus meninggalkan wonggi," tuturku lemas.

"Aku tidak tahu harus berkata apa. Entah kapan kita bisa bertemu lagi. Yang jelas doaku akan terus menyertaimu adikku."

Kami pun berpelukan. Jika Pak Daeng ku sudah ku anggap Abangku sendiri. Maka Kak Sri sudah seperti saudara perempuanku sendiri. Seorang singel mom yang tangguh dan pantang menyerah.

"Kamu bersih-bersih badan dulu. Kakak akan buatkan makan malam buat kamu."

Aku mengangguk. Setuju saja dengan perkataan Kak Sri. Aku sempat berpikir, apa tidak sebaiknya kupanggil juga Pak Daeng dan Eliya di makan malam terakhirku di Wonggi ini? Tapi, pasti mereka sangat kelelahan hari ini setelah menemaniku ke Bifo tadi. Mungkin mereka sedang beristirahat sekarang. Kasihan juga, jika harus ku ganggu lagi mereka. Besok pagi saja ku kabari sebelum berangkat.

Kak Sri memasak sop ayam dan telur mata sapi bumbu balado untuk makan malam. Biasanya, aku cukup lahap dengan menu semancam ini. Tapi entah kenapa, malam ini aku hanya menghabiskan setengah porsi saja makanan yang di sajikan Kak Sri di piringku.

Bukan karena tak enak. Kak Sri terkenal mampu mengolah bahan-bahan sederhana lalu kemudian menjadi makanan yang enak setelahnya. Tapi ini mungkin karena dalam hitungan beberapa jam lagi, aku akan benar-benar meninggalkan tempat ini. Tempat yang sangat berkesan buatku.

Pak Komandan. Cerita sepenggal senja di wonggi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang