Bab 4 (Back to realita)

22 3 0
                                    

Aku membuka mata, saat sebuah tepukan lembut di lengan membuatku lena dari tidur yang cukup lelap. Ku singkap sedikit penutup jendela di sebelahku hingga cahaya perlahan menyusup masuk. Pesawat dosmestik yang ku tumpangi bersama jaya dari Merauke ke jakarta, akhirnya menjejakkan rodanya diaspal badara internasional Soekarno Hatta dengan sempurna. Tanpa guncangan dan sangat mulus.

Aku menghembuskan napas lega. Bersyukur dalam hati atas lancarnya perjalanan ini. Padahal kemarin sempat khawatir, sebab setelah sampai ke Merauke. Terjadi hujan disertai angin kencang, bahkan hujan belum juga reda saat kami berangkat ke bandara setelah menginap sehari di penginapan dekat bandara sebab penerbangan ke Jakarta baru akan ada keesokan harinya di jam 7 pagi.

Aku menatap sebuah jaket yang menutupi sebagian badanku sampai ke leher. Ku gulirkan pandangan ke Jaya yang duduk di sebelahku. Kusingkap jaket dengan wangi parfum maskulin dan menyerahkan ke Jaya yang masih duduk santai saat orang-orang bersiap untuk turun.

"Terima kasih,"

Dia membalas dengan senyuman dan meraih jaket tersebut. Dia masih duduk dengan tenang, saat penumpang Lain yang duduk di sebelahnya mulai berdiri dan ikut mengantri menuju pintu pesawat.

Jaya belum bergerak sedikitpun. Aku yang duduk di kursi paling ujung hanya bisa pasrah mengikutinya. Menunggu penumpang lain turun baru setelahnya kami juga ikut turun pesawat.

Aku tercenung saat kedua kakiku turun di anak tangga paling akhir. Ada rasa tidak siap untuk kembali. Kakiku rasanya enggan bergerak maju kedepan.

Aku akan mengulang hari-hari yang penuh beban lagi mulai detik ini. Hari yang hampa dan kosong lagi.

Di luar, seorang pria setengah baya sudah menunggui Jaya. Katanya, sudah hampir sejam dia menunggu. Jaya mengajakku untuk ikut serta di mobilnya, namun ku tolak. Alasannya cukup random. Aku tidak ingin merasa kikuk cukup lama. Sudah cukup rasanya beberapa hari ini aku menjadi orang yang aneh di hahadapannya. Meski sebenarnya chemistrynya sudah dapat dan suasana mulai "mencair" tapi tetap saja, kekakuan itu ada. Hingga kubuat saja alasan kalau jemputanku akan tiba sebentar lagi. Aku sadar. Aku sudah sangat merepotkannya. Hingga rasanya cukup---sekarang yang kupikirkan bagaimana cara membalas kebaikannya dan bagaimana cara berterima kasih kepadanya.

***

Om Rian---suami bunda---tengah membersihkan sepeda bromtombnya di teras depan saat aku tiba. Rutinitas yang selalu di lakukannya setiap kali selesai gowes di hari weekend kemarin.

Aku menyapa sambil mendorong koperku masuk kedalam rumah.

"Om, Bunda di rawat di rumah sakit mana?" Tanyaku, kembali keluar keteras sambil menenteng segelas air di tangan. Bermakasud beristirahat sebentar di rumah, sebelum ke rumah sakit tempat Bunda di rawat.

"Rumah sakit?"

Om Rian terlihat kebingungan dengan pertanyaanku.

"Bunda habis jatuh dari kamar mandi kan? Lalu di rawat di rumah sakit?"

Om Rian masih memasang ekspresi tidak mengertinya.

"Iya. Tantemu memang habis jatuh, bukan jatuh tapi terpeleset saja. Kakinya hanya keseleo sedikit dan tidak sampai masuk ke rumah sakit. Ini saja dia sedang kluar, di jemput temannya tadi."

Aku tersedat oleh air yang ku minum. Perkataan Om Rian cukup membuatku kaget. Aku ingat betul bagaimana Nadia mewartakan kabar itu via telepon tempo hari. Bagaimana di terdengar menangis, bagaimana dia bercerita dan membangun suasana sedih waktu itu. Ternyata semua itu? Akh betapa bodohnya aku sampai harus percaya anak remaja ingusan seperti Nadia.

Aku yakin. Ini pasti skenario dari Bunda. Aku tahu betul, bagaimana manipulatifnya adik dari Almarhum ayahku itu. Entah apa yang di pikirkan olehnya sampai bisa membuat skenario konyol seperti itu. Aku cuma kasihan saja dengan Kak Sri yang bela-belain harus pulang lebih cepat ke Wonggi untuk mengabariku kabar yang di beritakan Nadia itu. Mungkin saja, dia masih ingin merawat anaknya barang beberapa hari lagi namun mendadak harus kembali karena mengira ini hal yang urgen.

Aku berlari ke kamarku yang terletak di lantai atas. Ku banting pintu dan menghempas begitu saja tubuhku diatas kasur yang empuk. Seketika aku teringat Kak Sri, Pak Daeng dan Wonggi. Rindu mengepung sanubariku. Baru juga sehari meninggalkan kampung itu tapi hatiku  tertawan disana. Aku tiba-tiba merasakan home sick saat hari pertama kedatanganku kembali di rumah sudah disambut oleh hal yang membuatku moodku berantakan. Aku rindu ikan nila segar yang baru di pancing dari sungai, aku rindu masakan Kak Sri, aku rindu suasana sore dan senja di tepi dermaga dan aku rindu guyonan Pak Daeng dan aksen Makassarnya yang kental---yang membuatku sedikit banyak paham bahasa makassar karenanya.

Rindu yang mulai menyiksa secara perlahan. Aku paham betul ini kondisi alami dan sangat normal yang bisa dirasakan oleh semua orang. Namun, ada rasa yang sedikit sakit. Saat aku merasa orang yang tak sedarah denganku. Jauh lebih menyangiku, dibanding dengan orang yang sedarah denganku.

Ibu kandungku yang telah pergi merantau semenjak aku kecil. Sudah menikah lagi beberapa tahun yang lalu dan sekarang telah memiliki 2 orang anak dari pernikahan barunya. Terakhir bertemu dengan ibu saat aku wisuda, itupun dua hari saja dan setelahnya, kami hanya berkomunikasi via telepon saja. Tidak sering juga.

Terkadang, aku merindukan sosok ibuku. Ibu yang lemah lembut, ibu yang menyayangiku dengan tulus dan ibu yang selalu ada saat aku butuh.

Aku hanya bisa mengusap dada setiap aku merindukannya. Berharap Bunda bisa menggantikan posisi itu. Tapi nyatanya, aku hanya berekspektasi lebih. Toh tidak semua keinginan bisa bisa terwujud. Aku tetap seperti orang asing, meski Bunda selalu berkata aku anak yang tak lahir dari rahimnya, melainkan lahir dari hatinya. Namun, aku masih sering menelan pil pahit sendiri karenanya.

Jadi, hubungan apa lagi yang harus ku percaya saat hubungan yang sedarah saja seperti membuat sayatan kecil di hatiku.

Pak Komandan. Cerita sepenggal senja di wonggi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang