Bab 7 (Hujan)

29 1 1
                                    

Bunda sendiri yang membukakan pintu dimalam itu. Untung saja ada Om Rian, hingga Bunda tak jadi menyemprotku dengan kata-kata yang mungkin membuatku tidak bisa tidur. Maka selamatlah aku berkat suami Bunda yang baik hati itu.

Ada satu hal mencengangkan lagi di malam itu. Jaya ucuk-ucuk menelepon sesampainya aku di kamar, hanya untuk menanyakan apakah aku sudah sampai di rumah dengan selamat? Aku sampai terbata-bata menjawab karena dibuat bingung karena sikabnya itu. Tapi jujur, aku senang dengan sikab dan perlakuannya padaku.

Dan di malam itulah, awal mula terjadinya sleep call antara kami berdua hingga sekarang. Hal itu sudah menjadi kebiasaan kami sebelum tidur. Bertanya kabar, membahas hal-hal random dan memperbincangkan banyak hal sebelum kantuk menyergap kami lalu terlelap dalam buaian mimpi indah. Berawal dari sesuatu yang canggung, lama-lama akhirnya mulai nyambung. Ya As long as good and as friend tentunya.

Hujan turun sangat lebat sedari pagi hingga beberapa jam yang lalu. Akhirnya hujan mereda juga menyisakan rintik yang seolah bernyanyi merdu di luar sana. Aku menatap keluar kafe dengan udara yang cukup lembab. Cukup sepi tak seperti biasanya dikala cuaca sedang bersahabat. Setelah menyelesaikan tugas home care di salah satu rumah pasien, aku mampir kesini. Tempat yang biasa ku datangi untuk chill atau bersantai dengan teman-teman sejawat saat masih kerja di klinik dulu. Aku sedang malas pulang cepat. Bunda kembali rewel. Mulai lagi membahas Pak Salman, padahal sudah sangat sering ku bahas soal ini. Aku tidak menginginkan pria kaya raya itu dan pula, aku dan Bunda sudah membuat kesepakatan soal ini tapi Bunda tetaplah Bunda. Apalah arti kesepakatan itu dibanding ambisinya.

Aku sedang tersambung via telepon dengan Pak Daeng. Sudah sekitar 15 menit yang lalu, lumayanlah kangennya sedikit terobati meskipun via telepon saja dengan abangku ini.

"Eh Ra, kau sudah kasi selamat sama Komandanku?" Tanya Pak Daeng.

"Selamat? Untuk apa? Dia mau menikah?" Tebakku.

"Ee, bukanlah."

"Tunangan? Punya pacar?"

"Ih, ndalah. Orang pemalu begitu."

"Emang orang pemalu tidak boleh punya pacar atau tunangan?"

"Boleh tapi bukan itu. Eh tunggu, kenapa nanyanya agak-agak nyerempet kesitu. Jangan-jangan?" Ledek Pak Daeng.

"Apaan sih Pak Daeng. Lanjut, tadi selamat buat apa?" 

Ini dia yang aku kangenkan dari Pak Daeng. Becandaan model begini.

"Dia lulus seleksi itu untuk pendidikan di Amerika."

"Amerika?"

"Iyalah. Tidak sembarang nah orang yang bisa ikut pendidikan itu."

"Oh ya?"

"Tapi memang tawwa. Komandanku itu nda kaleng-kaleng. Sudah cakep, baik, pintar dan salah satu taruna terbaik di baret merah. Pokoknya paket komplit, tapi sayangnya masih jomblo."

"Emang Pak Komandan masih jomblo?" Tanyaku bersemangat.

"Iya. Katanya to, lebih baik dia disuruh pergi berperang dari pada disuruh nembak cewek. Dia itu polos sekali, pemalu, sama nda suka tebar pesona kayak yang lain. Pokonya beda dengan kebanyakan cowok. Ya sebelas dua belaslah dengan abangmu ini,"

Aku terkekeh. Entah mengapa, pembahasan soal Jaya menjadi sangat menarik. Ada rasa ingin tahu banyak tentangnya dan aku sendiri bingung mengapa aku jadi  sekepo ini dengannya. Bukankah sleep call setiap malam sudah cukup mengulik tentang dirinya. Tapi entahlah ini sungguh aneh.

Aku berhenti memasukkan makanan di mulutku sejenak. Seketika mematung---tak bergerak dalam sepersekian detik. Seseorang tiba-tiba melintas. Berjalan disamping mejaku sambil menyelempang tas ranselnya menuju ke pintu keluar. Aku terkesima dengan pembawaannya yang tenang, gaya jalannya yang maco dan tampangnya yang cool. Seketika dia hadir di kepalaku dalam bentuk adegan slowmotion.

Pak Komandan. Cerita sepenggal senja di wonggi.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang