Tidurku hanya 2 jam malam ini. Semalaman aku tidak bisa tidur. Entah apakah karena udara yang teramat dingin atau karena semalam aku pulang setelah jam 10 malam. Yang mana jam tidurku di jam 9 malam sudah terlewat, hingga mataku menjadi susah terpejam.
Eliya sudah ku titipi pesan semalam untuk datang lagi di jam 7 pagi bersama Liben---sepupunya---yang sering kumintai tolong jika sedang ada pengantaran barang menggunakan kendaraan roda 3 milik puskesmas. Sekalian juga perahunya ingin kupakai ke desa sebelah untuk membagikan kelambu kiriman Kak Sri yang merupakan bantuan pemerintah sebagai upaya mencegah penyebaran malaria.
Belum juga jam 6 Eliya sudah nongkrong di depan rumah dan sekitar 15 menit kemudian Liben pun menyusul. Aku yang baru selesai mandi, di buat ketar ketir oleh mereka yang sangat-sangat tepat waktu ini. Selagi mereka menaikkan kelambu di kendaraan, aku menyempatkan waktu untuk membuat bekal makan kita selama disana. Sekalian membuatkan mie goreng dan susu coklat panas untuk sarapan mereka berdua.
"Eh pada mau kemana pagi-pagi begini," Sapa Pak Daeng saat kami siap-siap naik ke perahu di tepi dermaga.
"Mau ke kampung Bifo bagi-bagi kelambu." Jawabku sambil meraih uluran tangan Eliya yang sudah lebih dulu naik ke perahu.
Jaya terlihat membisikkan sesuatu ke Pak Daeng yang berpakaian olah raga lengkap dengan sepatu yang terlihat sangat baru.
"Duluan ya. Pak Daeng, Pak Jaya," sahutku saat Liben mulai membunyikan mesin perahunya.
"Eh tunggu dulu,"
Pak Daeng kembali menyimak omongan Jaya. Liben menatapku, seolah menanti instruksi dariku.
"Ada apa Pak Daeng?"
"Ee, begini," kata Pak Daeng sambil berjalan maju.
"Bisakah kami juga ikutan? Kebetulan di hari minggu ini, kami juga tidak ada rencana apa-apa. Ya Kan Komandan?"
Jaya tersenyum, seolah mengiyakan perkataan Pak Daeng.
"Ya, boleh itu Pak Daeng," celetuk Liben lalu memerkan deretan giginya yang rapih.
"Bagaimana?" Tanya Pak Daeng lagi.
Aku mengangguk sambil bergeser kedepan. Memberi ruang untuk mereka berdua. Liben membantu Jaya untuk naik, di susul Pak Daeng kemudian. Perahupun mulai bergerak maju membela sungai berawa.
Mataku tak jemu memandangi hamparan keindahan yang tersaji sambil menikmati percikan air karena terjangan perahu, yang seolah menjadi sensasi kesegaran tersendiri di kesejukan pagi yang tiada tara.
Aku sesekali membentangkan tanganku kesamping. Menikmati udara segar dengan membiarkan oksigen masuk sebanyak-banyaknya ke paru-paruku. Udara yang minim polusi, yang tentunya sangat susah ku dapati nanti sekembalinya aku ke kota. Aku pasti akan sangat merindukan ini. Merindukan suasana pagi di wonggi. Saat matahari mulai bangkit dari peraduannya dan bersiap-siap merebut dinginnya pagi dengan kehangatannya.
"Habis joging?" Tanyaku setelah puas dengan afirmasi pagiku.
"Iye Dinda, temani Komandan lihat-lihat Wonggi."
"Kalian pasti belum sarapankan?" Tebakku.
"Betul sekali itu Dinda, tadi rencana mau ke Pak Samson ngopi-ngopi eh keburu ketemu kalian didermaga." Pak daeng memvalidasi.
Aku membuka tas besar yang berisi bekal perjalanan. Mengeluarkan sebuah termos berisi susu coklat dan dua buah gelas berbahan stainlis, berikut dengan sebungkus biskuit gabin dengan taburan gula diatasnya yang kemarin di beli toko Pak Samson.
Pak Daeng refleks meraih gelas di tanganku saat melihatku sedikit sibuk dengan benda-benda itu.
"Minum ini dulu ya bareng biskuit. Buat pengganjal perut aja," Kataku sambil menuangkan isi termos kedalam gelas yang di pegangi Pak Daeng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Komandan. Cerita sepenggal senja di wonggi.
RomansaSeseorang pernah berjanji padaku. "Kalau suatu saat, aku berhasil menjadi tentara. maka, akan kulamar dirimu." Katanya di hari kelulusan kami waktu SMA. Dan setelahnya, kami lost contact. Bodohnya aku yang sempat sangat percaya akan hal itu, hingga...