Matahari hampir habis tertelan bumi saat kami tiba di parkiran. Senja menyapa saat kami bersiap melanjutkan perjalanan kami untuk pulang. Awalnya, kami berniat bersih-bersih dan istirahat sejenak di base kamp saja. Namun tiba-tiba Jaya membelokkan rencana dengan bersih-bersih badan sekalian magriban saja di rumah Kakaknya dengan jarak tempuh setengah jam sampai 45 menit dari base camp itu.
Kakaknya sedang piket di kantor saat kami tiba. Hanya Kakak ipar Jaya beserta 2 orang keponakannya yang manis-manis disana. Mereka menyambut kami dengan sangat baik.
Niatnya cuma sebentar saja. Hanya buat numpang mandi dan magriban lalu pulang. Namun Kak Ana---kakak ipar Jaya, menahan kami untuk makan malam dulu sebelum pulang. Walhasil selagi Jaya bercengkrama dengan kedua keponakannya yang masih balita. Aku ikut membantu Kak Ana didapur. Mengolah bahan makanan yang di petik langsung dari kebun sederhana di belakang rumahnya menjadi sajian yang enak dengan Kak Anak sebagai kokinya dan aku ya asisten kokinya. Tugasku hanya menggopek-gopek bawang saja, menyemai sayuran dan membuat sambel. Selebihnya Kak Anak yang mengeksekusi.
Jaya terlihat sangat menikmati sajian di meja makan. Dia langsung menebak pembuat sambel yang menjadi teman pendamping ikan goreng. Aku kira dia sudah lupa akan sambel yang pernah kubuat di Wonggi dulu, ternyata dia masih ingat.
Sebelum pulang, saat Jaya sibuk menaikkan barang-barang keatas bagasi mobilnya. Kak Ana berujar.
"Jaya belum pernah membawa seorangpun perempuan pada kami. Pun bercerita tentang seorang perempuanpundia belum pernah. Berarti kamu spesial."
Aku hanya tersenyum. Lalu kedua anak manis itu memelukku setelah bergelendot ria pada Omnya. Aku merangkulnya. Mereka lalu mencium pipiku sebelum Jaya mengajak naik ke mobil. Kami saling melambai. Berdada ria sampai benar-benar menghilang diujung pembelokan.
Rasa lelah berkolaborasi dengan rasa kantuk menyerangku. Namun rasanya tidak etis membiarkan Jaya menyetir swndirian tanpa teman mengobrol. Bukankah dia juga full lelah dan mungkin saja juga menahan menahan kantuknya saat berkendara. Musik terus mengalun 2 lebih jam perjalanan pulang menuju Jakarta. Sesekali Jaya mengikuti syairnya, ikut bernyanyi saat lagu yang bergulir adalah lagu yang di ketahuinya. Mungkin itu tips pengusir kantuknya. Sesekali pula kami mengobrol ringan membahas hal yang sedang trending dan kadang pula kami membahas hal-hal random seperti teori-teori konspirasi yang kadang diluar nalar.
"Aku antar turun ya?" Kata Jaya saat mobilnya sampai didepan rumah Bunda.
Aku menggeleng.
"Tidak usah, sudah larut. Kamu cepat-cepat pulang biar bisa istirahat."
"Ra."
Aku urung membuka pintu.
"Ya."
"Terima kasih ya untuk hari ini."
Aku mengangguk.
"Karena hari ini. Aku telah menemukan kembali seseorang ..."
Dia kembali membuatku menebak.
"Maksud kamu?"
"Seseorang yang akan menjadi masa depanku."
Aku mengerutkan dahi. Aku ingin bertanya lagi cuma takutnya pembahasan kami akan menjadi panjang dan Jaya akan semakin lama pulang untuk beristirahat.
Aku hanya tersenyum. Entah aku yang kegeeran atau aku yang lebai. Dalam hati bertanya. Apa aku yang dia maksud. Kata-katanya sedikit sarkas namun aku bahagia mendengarnya.
"Oh ya, ini ada vitamin dan suplemen buat kamu. Diminum sebelum tidur. Ini bagus untuk memulihkan kondisi. Sekali sehari ya minumnya," tuturku sebelum turun.
"Thank's kamu juga jaga kesehatan ya. Aku pamit, kamu masuk gih. Di luar dingin. Salam buat orang rumah."
Dia tersenyum sebelum mobilnya benar-benar pergi. Ya Tuhan sungguh senyumanya terlalu manis untuk menjadi salam penutup malam ini. Lelaki dingin itu membuat hatiku hangat seketika. Tidak Tuhan, jangan-jangan aku sedang ...
Bunda menunggu di ruang tamu sambil bermain ponsel. Aku masuk dengan santai. Menyapa Bunda dan bermaksud langsung naik ke kamar. Bunda bangkit dari duduknya dan menahanku. Memintaku duduk karena ingin berbicara denganku. Kuminta bicaranya besok pagi saja karena aku kelelahan sehabis mendaki dan ingin segera istirahat di kamar, namun suara Bunda meninggi. Nyaliku ciut jika mendengar nada tinggi dari seseorang.
"Pak Salman melamarmu."
Kantukku lenyap seketika. Rasanya seperti ada batu yang menghantam pendengaranku hingga terlingaku serasa berdenging akan berita serius barusan yang membuatku "freze" dalam sesaat.
"Tanpa ku beri tahu, Bunda tahu jawabanku."
"Bunda rasanya menjadi muda. Bunda sudah melalui banyak hal. Bunda pernah melalui banyak salah dan banyak pengalaman. Bunda hanya ingin yang terbaik buat kamu. Bunda tidak ingin kamu menyesal karena telah membuat keputusan yang salah."
"Aku sudah dewasa. Aku berhak atas hidupku sendiri. Berhak menentukan dan memilih. Hidup seperti apa yang ingin ku jalani. Begitupun dengan pasangan hidupku kelak. Aku punya pilihan sendiri untuk itu."
"Siapa?"
Aku terdiam. Aku tak tahu harus menjawab apa pertanyaan bunda.
"Pokoknya aku tidak mau. Tolong jangan campuri urusanku soal jodohku."
"Oh, ngomongmu sudah berani."
Bunda berapi-api sambil menunjuki wajahku.
Aku membisu. Tak ingin membalas Bunda.
"Siapa yang memberimu makan selama ini, memberimu jajan, membiayai sekolahmu, membesarkanmu sampai jadi sedewasa ini. Siapa hah? Lalu begini balasanmu saat aku mengusahakan yang terbaik buatmu."
Emosi Bunda semakin menjadi-jadi.
"Begini balasanmu pada Bunda. Mana balas budimu sebagai anak," tutup Bunda. Meninggalkanku masuk ke kamarnya. Aku bangkit berniat menyusulnya namun pintunya telah lebih dahulu di kunci.
"Aku mohon maafkan aku. Tapi aku masih tetap pada pendirianku." Tuturku sebelum berlari naik ke kamarku sambil berderai air mata.
Aku merebahkan diri begitu sampai di kamar. Rasa lelah pendakian hari ini dan pergumulan batin setelah jejak pendapat dengan Bunda seolah menjadi penghantar tidur yang komplit. Ada rasa manis dan getir.
***
Aku dan dokter Aga berlari-larian menuju ke sebuah ballroom sebuah hotel bintang lima. Sudah jam 9 malam. Takutnya resepsi kerabat jauh dokter Aga sudah bubar lantaran tadi sempat ada drama ban gembos di jalan.
Sudah sesi foto bersama saat kami akhirnya tiba di pelaminan. Kami langsung menerobos, memberi selamat pada raja dan ratu sehari itu lalu mencari tempat yang nyaman untuk menikmati penghujung resepsi pernikahan yang cukup mewah ini.
Pandanganku seketika tertuju pada sekelompok orang diatas panggung yang tengah asik bernyanyi bersama. Jaya. Dia terlihat sangat tampan dengan setelan jas dan tampilan klimis seperti sekarang. Aku hampir tak menemukan sisi kurang dalam dirinya. Mendekati sempurna baik dari segi fisik, kepribadian dan sifatnya.
Dokter Aga melambaikan tangannya pada mereka saat mereka turun panggung.
"Dokter kenal?" Tanyaku.
"Iyalah, orang yang di ujung kanan itu adikku dan teman-temannya yang sering main di rumah."
Orang yang di ujung tadi dan Jaya datang menghampiri meja kami. Selebihnya melimpir ke sisi lain ballroom.
"Loh, Mahira?" Sahut Jaya saat lebih dulu sampai di depan meja.
Aku menyengir.
"Kalian sudah kenal?" Tanya dokter Aga keheranan.
"Iya dia teman satu sekolah dulu Bang,"
"Oalah, ya sudah. Kalau begitu tidak usah ku kenalkan lagi. Nah kalau yang ini adikku. Bagas."
Kamipun bersalaman.
Tak lama kemudian seorang pria setengah baya datang menghampiri meja kami juga. Beliau terlihatunya pengaruh dengan mereka-mereka yang langsung menghampiri dan menyalim taksim tangan beliau.
"Hai para pria-pria lajang, kapan kalian menyusul," Buka Bapak itu.
Mereka saling pandang.
"Santai Opung. Kalau sudah waktunya menikah juga."
"Nah, Bagas. Jangan kau contoh Abangmu ini."
Bagas mengangguk.
"Nah ini lagi Si Jaya. Jabatan mentereng, lulus S2, cakep, berprestasi dan sebentar lagi pendidikan di Amerika sebagai pasukan elit. Kek gimana pula yang kau cari. Dina---anak pejabat kau tolak. Cika---yang dokter itu kau tolak. Siapa itu anak pemilik tambang batu bara?"
"Amel," singkat Dokter Aga.
"Nah, itupun ditolaknya juga. Kek manalah perempuan yang kau mau itu. Sampai yang cantik, kaya dan pintar kau tolaknya pula."
Jaya tersenyum.
"Habis pendidikan. Ku tunggu undanganmu."
"Iya Opung doakan ya."
"Ya sudah lanjut, Opung mau kesana dulu."
Dokter Aga dan Bagas menemani Opung yang terlihat berjalan dengan tongkat di tangan kanannya. Mereka menuju ke sebuah meja yang jauh dari meja kami.
"Cantik," bisik Jaya.
"Siapa?"
"Ya kamulah."
Aku tersipu sekaligus keheranan. Sejak kapan pria dingin ini punya keahlian menggombal atau memang aku yang belum tahu saja?
"Pulangnya aku yang antar ya. Ada yang mau aku omongin. Nanti biar aku yang bilang ke Abang Aga."
Aku mengangguk. Setuju saja dengan perkataannya.
***
"Jaga sahabatku baik-baik ya," Kata Dokter Aga sebelum kami berpisah di parkiran.
Mobil Jaya melaju. Jaya membawaku ke tempat yang belum pernah ku datangi sebelumnya. Tak seberapa jauh dari hotel yang tadi. Cuma 15 menit perjalanan saja.
Pintu gapura namanya. Sebuah kafe yang terletak di sudut dermaga dengan beberapa cottage komersil di dekatnya. Tempatnya sangat indah dengan lampu-lampu gantung sebagai penghias dan pemandangan pantai yang langsung tersaji di hadapan kami. Tapi sayangnya, kafe ini sepi pengunjung. Hanya ada kami berdua saja yang duduk di meja paling ujung. Menikmati indahnya suasana laut dikala malam sambil menunggu datangnya americano pesanan Jaya dan coklat panas pesananku.
"Aku akan ke Amerika sebentar lagi," ungkapnya dengan wajah agak serius.
"Oh,"
"Kamu dengar yang di katakan Opung tadi?"
"Iya, aku dengar."
"Permisi. Americano," buka Mbak waitress sambil meletakkan cangkir kecil berisi kopi pekat pesanan Jaya di atas meja.
"Coklat Panas," lanjutnya lagi kembali meletakkan secangkir minuman di atas meja.
"Makasi," ucapku saat Mbaknya berlalu pergi.
"Tentang sosok perempuan yang ku cari."
Dia melanjutkan obrolan yang sempat terpotong karena kedatangan waitress barusan.
Aku menyimak sambil meneguk air mineral yang ikut di bawa tadi oleh waitress sambil menunggu coklat panasku sedikit lebih dingin. .
"Itu kamu."
Aku seketika tersedak sampai-sampai keluar air dari salah satu lubang hidungku. Jaya panik dan menepuk-nepuk punggungku. Aku masih terbatuk-batuk setelahnya. Mungkin aku salah dengar tadi.
Aku mengatur napas sesaat.
"Sudah baikan?"
Jaya terlihat khawatir.
Aku mengangguk.
"Tadi kamu bilang apa?"
"Perempuan yang ku cari. Itu adalah kamu."
Aku ternganga. Tak menduga.
"Hah!"
Aku tak tahu lagi harus berkata apa. Aku kaget namun entah mengapa di sisi lain aku merasa lega.
"Kamu ingat. Belasan tahun yang lalu. Aku pernah berjanji sesuatu ke kamu?"
Aku mengangguk.
"Aku masih memegang teguh janji itu," ucapnya dengan suara bergetar.
"Kamu bercanda kan?"
Dia menggeleng.
"Tunggu. Aku masih bingung dan tidak paham sekali kemana arah pembicaraanmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pak Komandan. Cerita sepenggal senja di wonggi.
Roman d'amourSeseorang pernah berjanji padaku. "Kalau suatu saat, aku berhasil menjadi tentara. maka, akan kulamar dirimu." Katanya di hari kelulusan kami waktu SMA. Dan setelahnya, kami lost contact. Bodohnya aku yang sempat sangat percaya akan hal itu, hingga...