♡ Evening Day ✧

155 59 9
                                    

✧Happy Reading✧

Dalam keheningan malam disebuah kamar bernuansa abu-abu, banyak lukisan tertera
di setiap dinding. Lukisan yang hanya terdiri dari 1 warna menambah kesan kehampaan dalam kamar tersebut.

Seorang lelaki remaja sibuk mengerakkan tangannya menggambar di lembaran kertas HVS, membuat lukisan beberapa orang.
Ialah keluarganya. Terdapat 4 orang
dan sebuah gambaran kue ulang tahun dengan lilin berbentuk angka 1 dan 6.

Terlihat sederhana lukisan itu yang hanya memakai pensil 2B akan tetapi tidak kalah hebat dengan lukisan para ahli pelukis diluar sana. Dia membuka laci, mengambil korek api dan satu lilin putih, lilin biasa. Menghidupkan api di lilin, kemudian kedua netranya tertutup.

"Selamat ulang tahun untuk diriku. Semoga
di tahun ini, aku mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernahku rasakan." do'anya dalam batin.

Tok! Tok! Tok!

"Elnath!" ketukan dan panggilan dari luar pintu, pemilik nama pun beranjak membukakan.

"Buatin gue lukisan menara Monas!" perintah lelaki beralis tebal itu sembari menyodorkan
buku gambar. Yang diperintah mengangguk.

Mendapat anggukan sebagai jawaban mau dari lawan bicara, lelaki remaja berselisih 1 tahun itu berlalu meninggalkan.

Elnath menatap punggung sang kakak yang semakin menjauh dan menuruni anak tangga.

Apakah kakaknya lupa hari ini, hari ulang tahunnya dan kedua orang tuanya juga sudah pulang tapi kenapa tidak ada satupun yang mengucapkan selamat ataupun hadiah?

Apakah mereka lupa atau melupakan?

Elnath mengendus kecewa, ada merasa kekecewaan yang kembali menusuk.

Sejak kecil, ia sangat berharap keluarganya berkumpul bersama mengucapkan selamat serta ada kue ulang tahun dengan lilin memancar sinar hangat dan mereka memeluknya tanda kasih sayang.

Tapi ... itu hanyalah mimpi. Bahkan dalam mimpi pun tidak pernah terjadi!

Orang tuanya lebih mementingkan pekerjaan dan saudaranya jika ada maunya saja berbicara padanya.

Elnath memandangi jendela yang terbuka. Namun, dihalangi kaca cermin, kaca yang tidak tembus pandang hanya bisa melihat
dari dalam sedangkan diluar tidak.

Kamarnya berada dilantai atas, memudahkan Elnath melihat pemandangan langit dan hamparan perumahan penduduk.

Dia menikmati keindahan langit malam yang di hiasi gemilang bintang di seluruh langit serta bulan purnama bercahaya terang.

Elnath mendekati kaca, melihat halaman luas yang diselimuti rerumputan hijau dan dikelilingi pagar tinggi.

Di pantulan kaca itu memantul seorang lelaki berkulit seputih susu, rambut putih alami panjang hampir menutupi mata, bibir tipis dan bola mata biru. Satu kata ketika ada
yang melihatnya, tampan.

Sudah bertahun-tahun Elnath bertapa
dalam kesunyian dan kehampaan.

Orang tuanya melarang keras. Dia Keluar rumah, dari lahir Elnath tak pernah menginjak tanah dan merasa hangatnya sinar sang surya.

Irisan bola mata biru Elnath beralih melihat objek diluar pagar, ada seorang berjalan memakai kostum hewan berwarna merah muda dan membawa balon penuh warna.

"Andai ... aku seperti dia, " batinnya berharap. Elnath ingin bebas seperti orang tuanya, saudaranya dan orang lain. Layaknya
manusia yang bebas. Bisa kemanapun
dan merasakan berbagai suasana.

Tidak seperti ia hanya merasakan
kesepian yang menyiksa dan penuh
tanda tanya?

"Jika kau keluar, kau bisa membahayakan dirimu sendiri dan ... kami." itulah jawaban Ayah Elnath sewaktu ia bertanya, ingin bermain di kolam renang. Elnath tidak mengerti, apa maksud ayahnya itu. 
Membahayakan diri sendiri dan mereka.
Ada apa, sebenarnya? 

Tapp! Lampu kamar padam, hanya tersisa cahaya minim dari lilin yang belum ditiup.
Tidak hanya di kamar Elnath mati lampu namun seluruh perumahan penduduk
yang berawal terang benderang dan
sekarang hanya ada cahaya alami
dari langit.

Insting Elnath mengatakan ini kesempatan
tuk keluar rumah. Merasakan dunia terbuka bukan dunianya yang dihalangi tembok tinggi serta larangan orang tuanya yang tak pernah memberitahu alasan yang jelas.

Berlahan Elnath keluar kamar, ia meraba-raba tembok, mengingat dimana jalan menuju tangga. Berjinjit, berusaha tidak menimbulkan bunyi derap langkah.

Elnath tiba di anak tangga. Ia berhati-hati menuruni karena pemandangan yang gelap gulita sejauh mata memandang.

Dia merasakan tidak ada lagi anak tangga
yang diinjak berarti sudah sampai bawah.
Elnath terus melangkah dengan hati-hati, tangannya mendapati sebuah sofa dan meja setinggi pinggang. Elnath tau ini dimana, ruang tamu.

"Duuh, mati lampu segala!" protes seorang iringi bunyi derap langkah mendekat.

Elnath langsung menyembunyikan diri didalam lemari, dadanya berdegup cepat.
Dia sangat berharap rencananya tercapai.

''Ssuutt, jangan berisik Tuan dan Nyonya sedang istirahat," tegur seorang suaranya lebih tua. Serak.

"Aku takut kegelapan," terdengar suara lagi, lebih pelan." di mana, sih. senter itu?"

Elnath mengenal kedua suara itu, mereka ART. Mbak Sully dan Mbok Ina. Mereka berkerja sejak lama. Mbak Sully keponakan Mbok Ina sekitar berusia 25 tahun dan Mbok Ina 52 tahun.

"Mungkin dilaci ini atau itu." Mbok Ina sibuk mencari-cari senter di laci lemari yang berada dibelakang sofa.

Tiba-tiba Sully berteriak. " Aaaa!"

_____

Hello selamat datang diceritaku 😄

Senang banget bisa up di hari valentine,
14 Februari. Hari ultah tokoh fiksiku, Elnath✨

Btw lanjut terus ya😁

14 Februari 2024.

Evening DayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang