Tyara bersenandung riang sembari membolak-balik tahu dan tempe di atas wajan. Seusai kedua lauk itu berubah warna kekuningan atau kecoklatan. Dia mengangkat dan meletakkan di piring kosong.
Kemudian Tyara mengurangi sedikit minyak
di dalam wajan dan kembali memasuki sayuran kol, wortel, kentang dan mie.Jari-jemari lentiknya menaburkan garam
dan merica. Dengan lihai Tyara kembali mengaduk-aduk sayur gorengnya."Semoga Ibu dan Ayah datang," doa Tyara dalam batin, menggadah—melihat keluar jendela. Seolah meminta pada Tuhan mengabulkan permintaannya segara.
Dia mengimpikan makan bersama keluarga kecilnya. Namun, apakah mungkin? Mereka bertemu saja seolah terjadi perang dunia. Apalagi makan bersama? Mungkin piring
akan berganti tugas bukan untuk
menampung nasi, tapi alat lempar!Tyara membuang nafas, untuk saat ini mungkin tidak akan terjadi, tapi suatu nanti akan menjadi kenyataan! Itulah salah satu impian Tyara. Makan bersama dengan kedua orangtuanya.
Braaak! Bunyi pintu terbuka keras, menyentak jantung Tyara. Gadis itu berlari menuju ruang tengah, bukan ingin mencari tahu. Tyara sudah tau pelakunya.
Gena menghempaskan bokongnya ke sofa dan menyandarkan tubuhnya dengan tangan memijit pelipis. Tyara menghampiri.
"Bu, mau minum teh?" tawar Tyara sedikit membungkuk. Gena menjawab dengan gumaman, mulut masih mengatup rapat
dan masih memijit pelipis serta mata tertutup.Tyara bergegas membuatkan minuman, teh es. Dia tahu yang mana cocok untuk ibunya yang selepas panas-panasan dijalan dan berkerja di warung makan. Amat melelahkan.
Tyara meletakkan teh es di atas meja, dihadapan ibunya. Gena mengambil lantas meminum sampai habis dan mendesah segar.
Gadis itu mengembangkan senyuman melihat ibunya. "Kenapa senyum-senyum?" tanya Gena kasar, tak mengerti perasaan anaknya yang senang minumnya diterima.
"Gak ada apa-apa, Bu." Tyara tetap menjawab sopan.
"Kamu ada uang?" tanya wanita itu menegakkan tubuhnya.
"Ada ... Bu tap—"
"Sini," sela Gena. Tyara bergeming, tak yakin ibunya ini akan menerima uangnya yang hanya ribuan. Hasil jualan balon dan kincir angin pagi tadi. Kalaupun Tyara bilang tidak ada uang sudah pasti tamparan yang akan
ia dapatkan. Begitu pula kalau uangnya
hanya sedikit."Ayo, cepat ambil! Malah bengong," desak Gena.
"Ini ... Bu." Tyara meletakkan 5000 rupiah, tiga lembar dan 2000 rupiah, empat lembar di atas meja seusai mengambilnya di kamar.
Mata Gena mendelik tajam.
Prangg! Cangkir kosong itu dilempar asal Gena, emosinya mulai meluap. "Cuma ini?" tanyanya tak puas.
"Ini penghasilan Tya siang tadi."
Plak! Bunyi telapak tangan Gena menampar pipi Tyara. "Aku gak mau tahu, b*d*!"
"Apa Kau pakai untuk hal lain?"
Tyara menggeleng."Nggak ada, Bu. Memang sedikit."
"Kalau penghasilan masih kecil gini! Cari kerjaan yang lain, dong! Bukannya malah santai!" Gena menarik kuping Tyara.
"Ini nggak cukup kemana-mana!" Gena mengambil sapu dan mulai aksi kebiasaannya. Tak pernah, tidak memukul.
Pekkk!
Pekkk!
Pekkk!
Tungkai sapu itu menghantam punggung
dan kaki Tyara tak henti-henti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evening Day
Teen FictionTyara Trisha, gadis manis yang berhati peri dibalik badut kelinci imut. Suka menolong dan menghibur orang lain. Terlahir di keluarga yang kejam dan ringan tangan, terutama Gena, ibu Tyara dan tidak dianggap atau lebih tepatnya tidak pedulikan Anom...