05| Desa

6 0 0
                                    

"...belum tentu sibuknya orang adalah tanda melupakan."

*
*
*

Selepas shalat Asar, Dimas berjalan-jalan mengelilingi kampung untuk memotret pemandangan.

Berhubung tempatnya masih alami---tidak banyak terjamah oleh campur tangan manusia, Dimas menyempatkan dirinya pergi ke salah satu air terjun di sana. Tempatnya tidak jauh dari penginapan. Ia menggunakan motor yang sempat dipinjamnya dari tetangga sebelah.

Di tengah perjalanan menuju tempat air terjun, tiba-tiba seorang gadis bercadar lewat di depannya. Gadis itu berjalan menggunakan sepeda ontel. Berkelok-kelok gadis itu mengendarainya. Seperti orang yang baru pertama kali naik sepeda. Disampingnya juga ada gadis lain yang sama-sama naik sepeda, ia tak memakai kerudung dan berusaha untuk memberitahu bahwa ada motor di depannya.

"Hati-hati di depan ada motor," teriak temannya itu.

Sayang, teriakannya malah membuat gadis bercadar itu semakin tidak fokus. Dimas berusaha untuk menghindar, tapi... Brugh...

sepeda ontel yang dikendarainya itu justru menabraknya.

"Aww." Gadis itu meringis kesakitan.

"Ra, kamu gak apa-apa?" tanya temannya. Ia membanting asal sepedanya, berlari menuju gadis itu.

"Ck... kalau gak bisa naik sepeda, jangan dipaksa. Jatuh kan jadinya," ucap Dimas dengan nada sinis.

"Maaf, saya bisa naik sepeda. Cuman tidak biasa naik sepeda kayak gini," gadis itu membuat pembelaan.

Addara tidak sadar bahwa pria itu adalah gurunya sendiri. Ia tak mengenalnya karena Dimas memakai helm full face. Begitupula dengan Dimas, dia tidak tahu kalau yang menabraknya ialah muridnya sendiri. Mungkin karena memakai cadar, menambah ketidaktahuannya.

"Kalau tidak biasa kenapa repot-repot menaikinya. Udah jelas tidak biasa, masih aja make."

Ucapannya membuat Addara tersulut emosi. Ia bangkit, menyapu debu yang menempel di bajunya.

"Pernahkah Anda mendengar pepatah, orang akan bisa karena terbiasa? Pernah tidak?" tanyanya dengan penuh pembelaan.

"Itulah yang saya lakukan sekarang. Saya tahu saya tidak bisa, karena belum terbiasa. Maka dari itu, saya belajar untuk menjadi bisa."
Addara berhenti sejenak dan kembali mencecar, "anda seharusnya jangan membiasakan diri untuk mengambil persepsi yang salah. Kebiasaan kan?"

"Persepsi? Apa maksud gadis ini?" Dimas membatin.

Hal yang paling tidak disukai oleh Dimas adalah berdebat tentang sesuatu yang tidak penting. Ia memilih pergi meninggalkan mereka.

"Hey... Kenapa malah pergi? Minta maaflah dulu."

"Dasar cowok, selalu saja begitu." Addara terus-menerus merutukinya sepanjang perjalanan. Hilma, teman semasa kecilnya hanya mengelus dada mendengar ocehan dari gadis itu. Sepeda ontel yang sudah rapuh itu, kini Addara menentengnya tanpa dinaiki. Ban yang tiba-tiba terlepas semakin membuatnya menggerutu habis-habisan.

"Dasar pria tidak tahu diri. Bukannya minta maaf, malah pergi begitu saja."

"Sudahlah, Ra. Lagian kamu juga salah, udah tahu kamu itu gak bisa naik sepeda ontel ini. Masih saja ngeyel."

"Oh, jadi kamu juga sama kayak cowok tadi. Nyalahin aku, gitu?"

Semakin terpojoklah ia menjadi temannya. Hilma tak mau lagi dicecar karena salah bicara. Dia menutup rapat mulutnya, membiarkan temannya itu berbicara sendirian.

AddaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang