Pagi-pagi buta Addara menyiapkan beberapa pakaiannya ke dalam tas. Ia akan kembali pulang ke kota. Dengan cekatan ia membereskannya.
"Kenapa harus pulang sekarang?" Suara Nenek yang baru saja keluar dari dapurnya menghentikan aktivitasnya.
Nenek-nenek biasanya menyepah. Sama seperti kebiasaan Neneknya Addara. Dia mengunyah sirih sampai mulutnya terlihat berwarna merah kayak darah, lalu menyepahnya.
"Nek, aku kan harus sekolah. Sebentar lagi mau ujian. Jadi harus pulang sekarang, atau nanti nilaiku akan jeblok."
"Memangnya kenapa kalau nilaimu jadi turun? Toh mau bagus atau tidak sama saja. Ujung-ujungnya kamu jadi ibu rumah tangga juga," timpalnya. Ia duduk di bangku panjang berbahan kayu jati. Duduk di sampingnya.
Addara berbalik badan, menghadapnya kemudian berkata, "nilai itu penting untuk aku, Nek. Aku kan mau melanjutkan pendidikan."
"Jika nilaiku bagus aku akan kuliah di Universitas favorit. Itu impianku. Dan juga ini bukan perkara akhir dari lulus sekolah terus ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga. Tapi ini tentang ilmu. Aku nyari ilmu itu kan untuk kelangsungan hidupku di masa depan juga."
"Kalau aku cerdas kelak aku bisa mendidik anak-anakku dengan baik. Mengajari mereka. Juga..." kata-katanya menggantung.
Tadinya Dara tampak senyum ceria. Beberapa bulan lagi dirinya akan lulus SMA. Namun setelah mengingat dirinya akan dijodohkan, senyuman itu perlahan memudar. Ia kembali melipat bajunya.
"Kenapa kok jadi sedih? Cepat banget rubah ekspresinya?"
Addara hanya menggeleng.
Pikirannya melanglang buana sampai tiba-tiba akhirnya ia teringat dengan kejadian tadi malam. Pria yang nongol dari balik tirai pembatas. Yang memanggil nama Hilma pelan juga bisik-bisik.
Sempat dirinya menangkap sekilas wajah pria itu. Addara tahu pria itu ialah orang yang ditemuinya siang tadi, karena dia sudah berjanji akan memberikan foto cetak itu ketika malam tiba. Ia merasa wajah pria itu terlihat familiar di matanya. Ia juga merasa mengenal pria itu.
Neneknya melihat Addara begitu dekat. Kenapa cucunya itu jadi melamun?
"Nak?" Panggilnya sambil menyepah. Dara sadar dan terkejut, ketika Neneknya begitu dekat dengan dipandangannya. Napasnya pun terasa di wajahnya.
"Nenek, ngapain lihat-lihat aku kayak gitu? Udah kayak lihat patung aja." Mengembuskan napas berat, seolah sedang kesal.
"Kamu itu masih muda, jangan ngelamun mulu. Gak baik loh."
"Aku gak ngelamun. Tapi lagi mikir."
"Sama aja. Mikirin apa toh, jangan-jangan mikirin pacar, ya?"
"Apaan sih, Nek? Aku gak punya pacar tahu."
Hari itu merupakan hari Senin. Seharusnya Dara sekolah, tapi dia malah terjebak di desa. Hal itu tidak memungkinkan dirinya untuk masuk sekolah. Apalagi hari mulai terang benderang, tak ada waktu lagi dirinya mengejar waktu. Addara melihat jam pada ponselnya yang sengaja ia memode pesawatkan agar tidak ada yang mengganggu aktivitasnya.
Pukul 06:45, Addara mengembuskan napas kasar. Seharusnya dirinya sudah ada di jalan untuk menghentikan bus. Namun ada saja alasan yang membuatnya harus menunggu.
"Bi, Nenek mana sih ini udah hampir siang. Aku bisa telat naik bus," ucap Dara pada Bibinya yang sedang memasak di tungku perapian.
Di desa ini selain harus mandi di luar rumah, maksudnya tempat mandinya berada di luar rumah, juga biasanya orang-orang di sini memasak di tungku-tungku. Mereka masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Tidak ada gas ataupun kompor yang biasa orang kota gunakan.
![](https://img.wattpad.com/cover/359238675-288-k834003.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Addara
أدب المراهقينDi setiap takdir ternyata Tuhan membuat alur kisah yang tak disangka-sangka. Dalam kisah ini, Aku, Addara Kynandra---seorang gadis berusia 18 tahun ditakdirkan untuk menikah dengan seorang laki-laki yang bahkan aku pun baru mengenalnya dalam beberap...