Aku tak menyangka akan bertemu dengan seseorang dengan cara seperti ini. Beberapa pertemuan, mulai dari kejadian sepeda yang oleng, bertemu dia di dekat air terjun, juga di pasar, kenapa aku tak menyadari semuanya? Padahal aku berkali-kali bertemu dengan Pak Dimas.
Air terjun? Tiba-tiba aku teringat momen disaat Pak Dimas mengambil gambarku dengan Hilma.
"Foto itu?" Untungnya aku menerima foto-foto yang Hilma berikan di waktu itu, meski tidak aku terima semuanya. Mungkin ada lima foto yang aku terima. Karena penasaran, aku mengambil tas ranselku dan mencarinya.
Dua buah foto bersama Hima saat aku yang sedang terlihat bete. Satu foto saat aku bermain air sendirian. Yang ini bagus juga. Dua foto lainnya...
"Apa ini? Kapan aku di foto sama Pak Dimas?" Foto itu memperlihatkan Pak Dimas melirikku dari arah belakang, ketika aku sedang menatap langit. Satunya saat aku melihat ke belakang, tepat Pak Dimas sedang melihatku.
Aku tidak tahu bagaimana itu bisa terjadi. Saat itu Hilma meminjam kameranya Pak Dimas, entah apa lagi yang Hilma foto. Kala itu pak Dimas sangat tak ku kenali, karena dia memakai masker dan juga topi.
"Kalau memang foto itu Pak Dimas yang cetak, lalu bagaimana kalau dia tak suka dengan adegan ini?" Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, sampai tak menyadari bus yang aku tempati akan segera melaju.
Sesuatu terjadi di depanku. Orang yang aku pikirkan tiba-tiba saja muncul. Dia naik bus yang sama denganku. Dengan tas ranselnya yang ia selipkan di satu tangan, Pak Dimas celingukan hendak mencari tempat untuk duduk.
Aku menghindar dari pandangannya. Melihat ke arah jendela, dan menutup wajahku dengan foto-foto itu.
"Permisi, boleh saya duduk di sini." Suara beratnya mengagetkanku.
"B-boleh kok, Pak."
"Kau?" Argh, ternyata Pak Dimas mengenaliku.
Tanpa basa-basi lagi Pak Dimas duduk di sampingku. Kebetulan kursi sudah penuh, terkecuali di sisiku yang masih kosong.
Sebetulnya aku ingin sekali tenggelam ke dalam bumi mengingat beberapa kejadian yang menurutku tidak sopan padanya, tapi mau bagaimana lagi kejadian itu terjadi bukan kehendakku.
"Kenapa kau ada di desa ini?" Lagi-lagi Pak Dimas mempertanyakan alasanku di sini. Aku sama sekali tak mau menghadapnya, terus memandang ke luar jendela yang tak ada pemandangan sedikit pun, hanya lalu lalang orang yang sedang mencari bus ke arah tujuannya.
"Apa kau tuli?" Sarkas sekali dia. Aku bisa mendengarnya, bahkan untuk jarak jauh pun masih bisa mendengar ucapannya. Karena volume suara Pak Dimas itu cukup tinggi.
"Tidak Pak, aku tidak tuli. Dan aku di sini karena ada urusan penting," ucapku padanya dengan seramah yang aku bisa.
"Lebih penting dari kewajibanmu sebagai murid?" Hal ini yang tak aku sukai. Pak Dimas selalu menyudutkanku untuk hal-hal kecil.
"Lalu bagaimana dengan Bapak sendiri? Kenapa Pak Dimas ada di sini, bukankah seharusnya Pak Dimas kerja, mengajar di sekolah?"
Aku juga bisa memutar balikkan fakta. Apa dia rasa cuma dia saja yang punya urusan penting?
"Kenapa jadi kamu yang bertanya, kau tidak perlu tahu alasan saya datang kemari."
"Maaf Pak sebelumnya, aku juga tidak ingin tahu apa alasan Bapak ke sini. Tapi karena Bapak bertanya itu padaku seolah-olah hanya Bapak seorang saja yang punya urusan tertentu, jadi aku bertanya balik pada Bapak." Kebiasaanku kalau bicara panjang lebar akan terlihat seperti orang yang sedang emosi.
___
Aku tersulut-sulut karena pernyataan Pak Dimas yang mengira aku kabur dari rumah. Dia bilang kalau aku seperti wanita munafik yang bersembunyi dari balik cadar. "Kalau alasannya bukan kabur, lalu apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Addara
Roman pour AdolescentsDi setiap takdir ternyata Tuhan membuat alur kisah yang tak disangka-sangka. Dalam kisah ini, Aku, Addara Kynandra---seorang gadis berusia 18 tahun ditakdirkan untuk menikah dengan seorang laki-laki yang bahkan aku pun baru mengenalnya dalam beberap...