"Assalamualaikum." Kedatangan Dimas yang tiba-tiba setelah sepekan hilang kabar disambut antusias oleh keluarganya. Terdapat tujuh orang disana. Kedua orangtua, pamannya, bibi, adiknya, putri dan menantu dari bibinya. Suasana mengharu biru kala putra kesayangannya dari keluarga tersebut telah pulang.
"Wa'alaikum salam. Dimas?" Ibunya langsung menghambur lalu memeluk putranya itu.
"Kamu kemana aja sih, Nak? Ibu khawatir sama kamu. Ditelpon gak bisa-bisa, nanyain kabar sama Nasya juga katanya tidak bisa dihubungi."
"Sebenarnya apa yang kamu lakukan selama disana?"
Beberapa pertanyaan itu membuat Dimas merasa jengah. Kondisinya yang memperihatinkan ditambah harus menjawab pertanyaan semakin membuatnya emosional.
Sementara beberapa dari keluarganya terlihat sedang menunggu jawaban dari Dimas.
"Bu. Pertama, aku baik-baik saja. Kedua, aku hanya healing disana, dan... ketiga...." Pernyataannya menggantung. Mengingat kejadian buruk selama di Desa.
"Ketiga, apa?" Ayahnya bertanya.
Wajah Dimas berubah, seolah dirinya sedang emosi. "Ketiga, aku mengalami insiden yang membuat kehidupan ku berantakan," tegasnya. Dimas menekan kalimat itu.
Deg... Addara yang berada tepat dibelakang Dimas, merasakan seluruh tubuhnya menjadi panas. Air matanya membendung hendak turun dari persembunyiannya.
Adiknya Dimas, Cindy---terkejut melihat ada seseorang dibalik tubuh Dimas. Pakaiannya yang serba hitam, hampir menutupi seluruh tubuh, serta bercadar, seakan orang tersebut bukanlah perempuan biasa.
"Kakak, dia siapa?" Cindy menunjuk Addara yang berada di belakang Dimas. Sontak seluruh keluarga melirik arah tunjuk Cindy.
Tubuh Addara menjadi kaku. Apa yang harus ia lakukan saat itu?
Dibalik cadarnya, Addara tersenyum canggung. Lalu mengucap salam seraya menangkupkan kedua tangannya.
"Assalamualaikum semuanya?"
"Wa'alaikum salam," ucap mereka.
"Siapa dia, Dimas? Kenapa kau membawa seorang perempuan kesini?"
"Dia... euh.. dia..." Ia tak bisa berkata jujur mengenai masalahnya. Tetapi dengan segera direspon oleh Addara.
"Salam kenal, Bu. Saya Addara, saya ke sini untuk mencari pekerjaan. Kebetulan Pak Dimas adalah guruku sekaligus wali kelas ku di sekolah."
Dahi Nirmala berkerut heran mendengar penjelasan dari Addara. "Dimas, kenapa kau membiarkan muridmu untuk mencari pekerjaan? Bukankah dia ini masih seorang pelajar, dia harus belajar bukan bekerja."
"Bukan ak..."
Sebelum Dimas melanjutkan ucapannya, Addara memotong, "Bu. Tenang aja, saya masih bisa belajar sambil kerja kok. Karena saya sangat butuh uang, jadi saya ikut Pak Dimas ke sini.""Tapi kami tidak punya lowongan pekerjaan."
"Apapun akan saya lakukan, Bu."
"Sebentar, apa orangtuamu tahu akan hal ini? Kenapa mereka membiarkan putrinya pergi jauh hanya untuk mencari pekerjaan?"
"Justru itu, kami berasal dari keluarga yang kurang mampu, bahkan untuk biaya sekolah juga masih kurang, jadi orang tua saya mengijinkan saya untuk ikut Pak Dimas." Addara berbohong mengenai latar belakang kehidupannya.
"Orangtua saya berpikir bahwa kehidupan di kota bisa menjanjikan. Saya bisa belajar banyak sambil mencari uang." Itu pertama kalinya Addara berbohong. Ia tak bisa menceritakan kejadian aslinya, jadi hanya karangan semata yang ia katakan.
Mendengar penjelasan dari gadis tersebut, Dimas sama sekali tidak membantahnya. Justru itu menyelamatkan dirinya dari pertanyaan-pertanyaan orangtuanya yang tak bisa ia jawab. Dimas menarik napas berat dan langsung masuk meninggalkan Addara.
Ibunya Dimas, Nirmala hanya menatap bingung kepergian putranya yang melengos begitu saja.
"Baiklah, Nak. Ayo, mari masuk dulu ke dalam. Kita ngobrolnya di dalam saja."
Kaki Addara melangkah dengan ragu. Ini adalah pertama kalinya ia masuk ke rumah Dimas sebagai istrinya. Ralat, mungkin lebih tepatnya sebagai orang lain. Karena Dimas sama sekali tidak menganggap pernikahan itu ada, begitu pula dia tidak menganggapnya sebagai istri.
"Oh ya, kebetulan kami lagi butuh asisten rumah tangga. Tapi kamu bisa kan, beres-beres rumah?" Hanya itu yang bisa Nirmala butuhkan.
"beres-beres rumah? Ah itu mah kecil," ucap Addara seraya menjentikkan jarinya. Nirmala tersenyum melihat tingkah Addara yang ternyata mudah bergaul.
"Tapi bukan hanya beres-beres rumah saja. Kamu juga harus bisa masak, nyuci, ngepel, nyiapin kotak makan, nyetrika baju-baju dan masih banyak lagi," sahut Bibinya Dimas.
Mendengar penjelasan dari Bibi sontak membuat mata Addara membulat. Mulutnya pun menganga tak percaya.
Dari matanya Nirmala tahu bahwa Addara kaget mendengar hal itu. "Tenang saja. Kami akan membantu mu soal masak. Kamu masih belum bisa masak kan?"
"Hehe... Iya," Addara malu sendiri. Bukankah dia tak pernah bantu Umminya untuk mengurus rumah, tentu saja dia akan kaget ketika harus ini itu, mengingat dirinya tak pernah sekalipun menyentuh sabun-sabun cuci. Tetapi bukan Addara namanya kalau menyerah begitu saja. Ia merupakan gadis yang serba ingin tahu dan akan berusaha untuk menjadi orang yang bisa diandalkan bagi semua orang.
Keluarga Dimas menyambut Addara seperti keluarga mereka sendiri. Meski Addara diposisikan sebagai ART, tetap mereka tak membedakan Addara. Mereka terlihat peduli dan bersikap sopan pada Addara.
"Kakak, kenapa kakak pakai itu?" Semenjak pertama kali bertemu adik kecil bernama Cindy itu selalu memperhatikan pakaian yang dikenakan Addara.
"Apa?"
"Itu yang kakak pakai. Yang kayak ninja-ninja itu," ucap Cindy dengan wajah polosnya.Ibunya Cindy menegur, "Sstt... jangan bilang seperti itu ya, Nak. Tidak sopan."
"tidak apa-apa, Kak. Adeknya kan masih kecil, belum tahu apa-apa."
"Temen-temen ku bilang, itu namanya ninja." Semua orang terlihat menahan tawa. Sikap Cindy ini terlalu menggemaskan. Polos, lugu dan banyak tanya.
"Ini namanya cadar. Cindy kalo ketemu orang-orang kayak kakak jangan panggil ninja ya. Kasihan, nanti mereka bisa sedih." Cindy mengangguk paham.
"Terus kenapa kakak pakai... eum... apa tadi?"
"Cadar," sahut Addara.
"Iya. Kenapa?" Ibunya Cindy merasa tidak enak. Ia hendak menarik Cindy untuk diam menanyakan perihal pakaian yang dikenakannya. Namun Addara tetap menjawabnya dengan penuh kasih sayang.
"Kakak memakai cadar karena kakak ingin menjadi seorang muslimah yang baik. Cindy tahu tidak? bahwa setiap wanita muslimah diwajibkan untuk menutup aurat. Nah kakak juga."
"Oh... begitu. Pantas saja Bibi, Nenek, sama Mamah selalu pakai kerudung." Cindy paham. Dan kini matanya tertuju pada ibunya.
"Tapi... Kok Mamah gak pakai cadar kayak kakak?" Ibunya Cindy terkejut dengan pertanyaan anaknya."Gak papa Cindy. Cadar itu sunah. Seorang muslimah boleh memakai cadar, boleh juga tidak. Jadi tidak masalah, sayang." Mengusap ujung kepala Cindy dengan lembut.
"Baiklah Cindy. Kamu itu banyak sekali bertanya. Kak Addaranya kan jadi gak nyaman sama pertanyaan-pertanyaanmu. Ayo, sekarang waktunya untuk belajar." Cindy dibawa Ibunya masuk ke kamar.
Sementara itu Dimas yang baru saja keluar dari kamarnya langsung ditegur Nirmala, "Kamu mau kemana sekarang? kok gak nunggu makan dulu?"
"Aku ada urusan penting. Nanti saja." Dimas berlalu. Mata Addara kian tenggelam. Ia merasa serba salah.
Dimas benar-benar tidak peduli akan keberadaannya. Ia bahkan tak melirik sedikitpun pada Addara. Apa sebenci itu dia padaku?
![](https://img.wattpad.com/cover/359238675-288-k834003.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Addara
Fiksi RemajaDi setiap takdir ternyata Tuhan membuat alur kisah yang tak disangka-sangka. Dalam kisah ini, Aku, Addara Kynandra---seorang gadis berusia 18 tahun ditakdirkan untuk menikah dengan seorang laki-laki yang bahkan aku pun baru mengenalnya dalam beberap...