08| Terpaksa Menikah

6 0 0
                                    

Aku selalu menganggap bahwa hujan adalah sahabatku, tapi ternyata aku salah karena kini dia adalah musuh terbesarku.

Kejadian kemarin merupakan awal kisahku yang suram, dan hari ini, para warga mengetahui keberadaanku berduaan dengan seorang pria di gubuk ini. Dan pria itu tak lain adalah guruku sendiri.

"Ayo, bawa pria ini ke kepala Desa." Beberapa orang menyeret Pak Dimas dengan kasar. Dia hendak menjelaskan, tapi tak kunjung didengar.

"Tunggu dulu, ini salah paham." Tangannya berusaha melepas dari cengkeraman tangan mereka.

"Hey kamu! kenapa diam saja? Jelaskan kepada mereka apa yang terjadi kemarin malam," dia menunjuk ke arahku. Sementara para warga hanya menatap bingung.

"iy---iya, Pak, Buk. Ini hanya salah paham saja. Kemarin kami terjebak hujan. Jadi terpaksa kami nginep disini," aku berusaha menjelaskan.

"Ehh tunggu sebentar, bukankah gadis ini cucunya Nek Romlah?" Salah satu Ibu-ibu itu mengenalku.

"Iya benar. Oalah Nak, bercadar kok kelakuannya begini."

Nasi sudah menjadi bubur. Alasan yang kongkret tak menjadi halangan untuk para warga, mereka bersikeras membawa kami ke Kepala Desa. Meski mencoba menjelaskan sedetail mungkin, jika tak ada bukti kami tetap diiring warga.

Kabar buruk ini sampai ke telinga Nenek. Dengan wajah tertunduk malu, Nenek hadir dan hanya bisa terdiam.

Aku pernah mendengar bahwa di desa ini jika ada pasangan yang tertangkap basah berduaan sampai menjelang siang, maka mereka akan dinikahkan hari itu juga. Tidak peduli ada keberatan di salah satu pihaknya atau tidak. Lalu bagaimana dengan diriku? Yang sama sekali tak menginginkan hal itu.

"Kau harus setuju untuk dinikahkan!" seru Kepala Desa memutuskan pada Pak Dimas.

"Apa apaan ini? Pak Kades, Bapak adalah pemimpin dan suri tauladan bagi warga desa, seharusnya Pak Kades memberikan kebijakan yang pas untuk memusyawarahkan masalah ini."

"Saya tidak setuju untuk menikahinya," ucap Pak Dimas memekik keras. Sementara aku hanya bisa menangis dibalik cadar.

Para warga yang mendengar hal itu lantas menarik ancang-ancang, mengancamnya dengan bogeman yang siap untuk dilayangkan. Berseru rusuh.

Suasana semakin meriuh kala Pak Dimas berdiri dari tempat duduknya. Sementara itu... "mau kemana kau?"

Beberapa pasang mata saling melihat, melirik kearah sumber suara. Suara perempuan itu terdengar bergetar. Dibarisan ujung tepat para ibu-ibu duduk, disana ternyata Nek Romlah yang berbicara. Nenekku sendiri.

Nenek menghampiri dan menyeret Pak Dimas untuk kembali duduk.

"Kau sudah mencemari nama baik Desa ini, wahai Pria Kota," sentaknya.

"Begitu pula dengan kamu! Gadis yang selama ini begitu diidamkan pria sholeh karena berpakaian syar'i, bercadar, ternyata punya sifat bertolak belakang dengan sikapnya."

Bagai tersambar petir di siang bolong, bagai teriris pisau yang tajam, dan bagai tergulung ombak di tengah badai, ucapan Nenek itu sungguh menyakitkan hati. Dia berkata begitu seolah aku bukanlah cucunya lagi. Dia tidak membela ku atau membelanya, melainkan untuk nama baik Desanya, mungkin saja.

"Apa yang Nenek katakan?" ucapku seraya menggenggam pergelangan tangannya. Nenek menatap genggaman itu, lalu menepisnya.

"Kamu bukan cucuku." Aku terkejut dengan pengakuannya.

Setelah itu Nek Romlah pergi, entah kemana perginya.

"Lihatlah! Cucu kesayangannya itu diacuhkan oleh Neneknya sendiri. Benar apa yang Nenekmu katakan tadi, kamu bukan cucunya lagi." Seorang ibu-ibu mengompori.

AddaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang