****
Seorang gadis memandangi hujan dari balik jendela kelasnya yang terletak di sebuah gang kecil di perbatasan kota Chiku dengan kota sebelah. Hujan tidak habis-habisnya membasahi bumi, membuat hitamnya aspal menjadi semakin hitam. Rintik air menimpa atap plastik cafe-cafe di pinggir jalan dekat sekolah. Ritme suaranya teratur namun sendu. Si gadis memperhatikan bahwa satu-dua orang yang duduk di sana tanpa sadar ikut terbawa suasana. Mendungnya distrik Oya menularkan mendung di wajah para siswa.
Dinginnya angin yang masuk dari celah-celah jendela kelas membuatnya sedikit bergidik geli. Ia mencoba membuat kesibukan di kelasnya yang sepi dan suram. Guru di depan sedang fokus menulis pada buku tebal.
Tangannya dengan lihai memutar balikkan bolpoin di jari-jari lentiknya. Tindakannya tidak luput dari pandangan seorang siswa laki-laki yang duduk di bangku sampingnya.
Bila siang hari begini biasanya banyak orang yang mengunjungi kedai ramen milik keluarga Hanabi. Tak peduli betapa dinginnya udara pada hari itu. Dan mereka akan tampak lucu mengembung seperti bola footy dalam balutan jaket tebal mereka.
Dikeluarkannya buku paket tebal yang sejak tadi disembunyikan dalam laci mejanya. Dengan matanya yang sayu dia memandang jam dinding. Gadis itu mulai menghitung detik dari sepuluh hingga tepat pada hitungan satu, dan bel pulang sekolah akhirnya berbunyi dengan nyaring.
Beberapa murid berkomentar dengan senang karena jam sekolah telah habis. Sedangkan gadis pemilik mata sayu itu masih terdiam menatap cafe depan sekolahnya. Dia teringat kenangan bersama kakaknya sebelum dia pergi. Ia menghela nafas panjang, dan akhirnya berdiri lalu meregangkan otot tubuhnya yang sedikit kaku. Segera ia membersihkan alat tulisnya.
Beberapa siswa telah keluar dari ruangan kelas namun si gadis menyempatkan diri untuk mengambil payung dan sepatu putih di loker. Dahinya mengerut menciptakan garis-garis pada jarak di kedua alisnya. Di pojok loker terdapat satu coklat batangan dengan surat yang masih terbungkus rapi dalam sebuah kotak belanja berukuran kecil.
Seorang murid laki-laki menoleh dengan senyum tipis, "aku melihat pengirimnya pagi tadi, 'aku rasa dia murid kelas dua."
Gadis itu hanya mengangguk menanggapi ucapannya dan dia berjalan pergi menuju pintu untuk pulang.
"Ne!" murid lelaki itu sedikit berteriak untuk memanggilnya. Si gadis berbalik menatap heran teman laki-laki sekelasnya, dia terlihat sedikit gugup. Gadis itu hanya diam menunggu temannya untuk melanjutkan ucapannya.
"Ano... hati-hati." Ucapnya terlihat gugup.
"Ya, tentu." Dengan nada malas yang kontras dengan wajah suramnya, gadis itu akhirnya lenyap dibalik pintu. Menggunakan sepeda sebagai transportasi akhirnya ia sampai di basemann apartemennya. Setelah memarkir sepedanya dengan aman dia beranjak memasuki lift dan menuju lantai tiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗦𝗘𝗥𝗘𝗡𝗜𝗧𝗬
AcciónKadzuki adalah si bungsu dari tiga laki-laki Amamiya bersaudara. Namun dalam suatu malam yang tidak di duga, Takeru saudara yang paling tua menghilang meninggalkan gadis kecil dengan mata sayu di apartemen yang gelap sendirian. Dalam kota Chiku yang...