Suara ketukan birama terdengar memecah kesunyian saat sang empu dari pemilik pantofel berwarana hitam menuruni anak tangga. Suara itu terus berlanjut hingga sang empu berhenti didepan dipet panjang yang rapat dengan tembok.
"Apa gunanya kau menaruh benda ini disini? Sangat tidak berguna"
Wanita itu melirik kesudut ruangan, sebuah kursi besar yang tengah ditempati seorang pria dengan tubuh gagahnya yang terlilit rapi oleh jas hitamnya.
"Apa kau tidak sudi mengenang masa itu? Bukankah waktu itu kau mengerjarku hingga kau sampai membuat fit-"
"Cukup!", Potong wanita itu dengan tatapan mengerikan kepada pria itu.
Pria itu terkekeh.
Wanita itu kembali menatap sebuah bingkai yang dipegangnya. Mata lentiknya menatap dengan lamat-lamat, menghayati setiap lekukan wajah sumringah yang terpampang jelas pada bingkai.
Terdapat 5 orang dengan pakaian yang seragam. 3 seorang gadis termasuk dirinya dan 2 lelaki termasuk pria yang yang tengah duduk itu.
Bibirnya tertarik kesamping. Ia bergumam. "Sembilan tahun yang lalu"
"Sialan! Kenapa foto ini bisa diambil?! Konyol sekali!"
Pyar!!
Suara kaca terbanting memekik gendang telinga pria itu. Tenaga wanita itu cukup kuat untuk menjadikan kaca itu menjadi serpihan, bahkan bingkai logam itu sampai mental mengenai pria yang tengah duduk santai sambil menyeruput kopi, alhasil jasnya kotor terkena tumpahan kopi. Menganggu saja wanita itu.
"Hey! Hati-hati, itu mengenaiku sialan!", Umpat pria, melempar kembali ke sembarang arah.
"Arghhhh!!", Wanita itu mengacak-acak rambut nya yang diikat hingga terlepas, frustasi.
"Sialan! Kenapa dahulu aku melakukan hal se memalukan itu?! Dan kenapa aku harus meminta maaf kepada kalian?! Sampai kalian sebegitu nya untuk memintaku berteman baik?!", Lantang nya bingung sendiri.
Wanita itu menunding pria itu tajam. "Gara-gara kamu! Konyol sekali aku dahulu bisa menyukaimu!"
Terdengar suara tawa yang cukup menggema diruangan luas itu. "Mana ku tahu. Bukankah sekarang kita menjadi teman yang sangat baik"
Wanita itu mengabaikan. Tangan kirinya memegang meja panjang berbahan kayu yang mengkilap akibat polesan cat. Wanita itu menundukkan kepala, membuat helaian rambut acaknya menutupi wajahnya.
Ia memerosotkan badannya, terduduk untuk memeluk kakinya. Perlahan, suara isakan mulai terdengar, wanita itu tiba-tiba menangis.
"Aku benci, benci dengan ini semua. Kenapa dunia ini tidak bisa berjalan sesuai dengan rencanaku? Argh!"
Seorang pria yang telah lelah mendengar geraman melengking itu sontak menghela napas. Ia bangkit lalu mengambil langkah kecil untuk menghampirinya. Ia paham betul apa yang dirasakan wanita yang menjadi sahabatnya itu.
"Sudahlah, sampai kapan lagi kau seperti ini? Kasihan keluargamu"
"Keluarga katamu? Kupikir salinan dari keluarga yang ku alami", jawabnya yang masih menelangkupkan badannya.
"Hey, kau sudah melakukan itu dan kau harus bahagia. Kau tak boleh seperti ini, karena tak lama lagi aku akan pindah dari sini"
Wanita itu tertawa, walau bercampur dengan isakannya. "Tidakkah kau mejulur waktu lebih lama lagi soal kepindahan mu? Aku bisa gila disini"
Pria itu tersenyum, dengan posisinya yang masih berdiri ia memasukkan kedua tangannya kedalam saku celananya.
"Tidak bisa, karena kepindahan ku besok. Tapi kau tahu? Seharusnya kau merasa senang"
KAMU SEDANG MEMBACA
Gangleaders
Teen FictionLyna, seorang wanita yang terobsesi dengan kesempurnaan, diliputi kegilaan ketika dia didiagnosis tidak bisa memiliki anak. Demi mewujudkan keluarga "sempurna"nya, dia menipu suaminya, Herga, dengan meminta kembarannya untuk bercinta dengannya dan m...