Mula-Mula Pertama

51 8 3
                                    

"Jadi kamu percaya dengan keberuntungan?" 

"Saya percaya bahwa keberuntungan itu, sama seperti sukses, dapat diraih setiap orang," senyum sumringah terlukis di bibir Daenys. "Tapi itu sekarang. Dulu saya pikir saya ini terlahir sial."

Anak tunggal dari orangtua yang menikah tanpa restu lalu berpisah, kekurangan dalam segi ekonomi, tidak pandai bergaul dan tidak pintar secara akademik pula. "Rata-rata manusia kan punya keunggulan ya. Apakah itu fisik, harta, kepintaran, kasih sayang. Saya merasa nggak punya satupun kelebihan. Meskipun bercita-cita menyanyi, nggak terpikir bahwa saya akan jadi penyanyi beneran."

"Kalau nggak nyanyi maka seorang Daenys akan jadi?"

"ASN mungkin. Itupun kalau diterima. Kuliah saja saya susah payah Mas," gurau Daenys. 

"Boleh saya tebak kamu kuliah di jurusan apa?"

Satu anggukan Daenys menjadi jawaban.

"Sastra Indonesia," kata Dreas mantap. "Tercermin dari lirik-lirik lagu kamu bagus-bagus sekali."

"Yang benar akuntansi," Daenys menahan geli mengingat jatuh bangun dirinya awal perkuliahan dulu sekaligus melihat ekspresi Dreas yang tampak tidak percaya. 

"Serius?"

"Tapi nggak lulus kok, Mas. Cuma tiga semester."

Meskipun jawabannya santai, tapi sebenarnya hati Daenys nelangsa. Bapak dulu sangat berharap anaknya bisa lulus kuliah. Ibu tentu sama.

Keluarga besarnya di Sumenep bisa dibilang berkecukupan. Begitupun dengan keluarga besar ibunya di Bali. Yang satu banyak menghasilkan pedagang-pedagang ulung yang mana adalah paman dan bibi Daenys, sedangkan yang satu lagi adalah pemangku-pemangku adat. Tidak heran jika anak-anak mereka alias sepupu-sepupu Daenys semuanya berpendidikan tinggi. 

Sementara Daenys— Gendhis Raihanah cuma bisa masuk ke kampus paling murah di Bali, itupun dengan susah payah. 

"Bapak punya teman yang dosen. Saya akhirnya kuliah di kampus tempat temannya Bapak, cuma ya dasar saya nggak minat belajar ya nggak bisa dipaksa juga akhirnya," Daenys melirik ke kamera sebelum melanjutkan. "Tapi ini bukan pembelaan diri. Jika waktu bisa diulang saya akan berusaha bagaimana caranya untuk tidak mengecewakan orangtua saya. Hanya saja waktu itu saya nggak punya pilihan lain."

Fakta ini tidak akan pernah muncul di publik, namun keluarnya dia dari universitas adalah pemicu pertama ketidakharmonisan hubungannya dengan Bapak. Meskipun Daenys yakin seratus persen bahwa toh nasib tidak akan membuatnya bertahan di sana, tetap saja dia menyesal telah membuat Bapak kecewa. 

Belum ada tiga puluh menit setelah Bapak dimakamkan, Bibi Farida menghampiri Daenys yang masih berdiri dengan tatapan kosong di sebelah pusara. Kedua tangannya memang memeluk tubuh Daenys yang lemas menahan duka dan lelah, namun kalimatnya membuat Daenys ingin teriak. "Bapak kamu pengen kamu lulus sekolah, Dhis. Dulu dia sampai utang buat bayar kuliah kamu."

Sampai sekarang, impian itu belum juga terwujud meski sebagai anak Daenys telah melunasi seluruh hutang Bapak. 

"Saat kuliah apa dulu kamu masih menyanyi?" tanya Dreas hati-hati. 

"Tentu. Sambil kuliah tetap nyanyi, saya tetap bantu Ibu di kios," bahkan Daenys bisa mengisi acara-acara di kampus meski dengan upah yang tidak seberapa. Semua uang yang didapatkannya dia gunakan untuk keperluannya, sisanya ditabung untuk keperluan pindah ke Jakarta.

Ya, rencana itu tidak semata-mata menguap. Terutama karena menjalani kuliah akuntansi jauh lebih sulit daripada sekedar lulus SMA.

"Bahkan karena jadwal kuliah tidak sepadat waktu sekolah, saya bisa kerja dari siang sampai sore di kafe-kafe jadi pramusaji," Daenys diam sejenak untuk mempertimbangkan kalimat yang akan disampaikan selanjutnya. "Satu tahun lalu di Instagram sempat beredar video saya memarahi orang yang memaki-maki pramusaji di restauran. Mungkin bagi teman-teman yang sempat melihatnya, orang di video itu adalah saya."

Dunia DaenysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang