Yang Belum Dimulai

111 13 4
                                    

"Nervous?" Daenys tidak perlu mendongak untuk mengetahui siapa yang menanyakan pertanyaan retoris itu. Namun kepalanya terangkat lalu mengangguk sebelum otaknya bisa berputar untuk memikirkan jawaban cerdas. 

Kamera belum dinyalakan saja, dia sudah setransparan ini. Apa jadinya jika host acara podcast itu bisa mengorek bahkan hal paling rahasia dari dirinya? Mau dibawa kemana reputasi dan karier yang telah dibangunnya selama ini kalau sampai dia blunder atau tidak sengaja menyatakan sesuatu yang kontroversial.

"Emangnya lo mau ditanya soal apa sih? Dukung siapa pas pilpres? Nggak kan," omongan Uma, managernya, saat berusaha meyakinkan Daenys menerima tawaran podcast masih terngiang di kepalanya. "Nggak bakal sampai separah itu. Elo sih udah overthinking duluan."

"Bukan overthinking, Kak, tapi berusaha menelaah apa yang berpotensi menghancurkan namaku dalam sekejap."

"Ih, tuh, elo mah dramatis," Uma melengos menudingnya. "Dengan segala hormat gue ke elo ya Nys, tapi status elo cuma sebatas dua: talent di management ini dan tamu. Elo nggak lagi mau debat calon presiden atau mau sidang di pengadilan. Podcast itu cuma ngobrol. Tugas elo adalah dateng, ngomong. Udah."

"Ngobrol depan kamera yang hasilnya nggak bisa diedit sekaligus bisa ditonton satu dunia. Paling nggak jangan mengecilkan cakupan dari apa yang harus aku lalukan, Kak," Daenys memijit pelipisnya yang terasa berdenyut. 

"Ya masih sama pernyataan gue barusan. Elo bikin dosa apa emang sampai setakut ini?"

Yang barusan Daenys memilih mengabaikannya. Selain karena sesi negosiasinya dengan Uma mendadak berubah seperti sesi introgasi, Daenys memang benar-benar tidak bisa menjawab. Tidak ketika Daenys sendiri belum yakin dengan dirinya. Dengan semuanya.

"Kamu pernah diwawancara sebelumnya?" tanya Dreas Handersen, host podcast sekaligus pemilik kanal Next Door yang merupakan pelopor podcast di YouTube dengan total penonton yang mungkin sudah mencapai miliyaran. Bagaimana tidak, kadang penonton satu video live podcast saja bisa mencapai angka belasan juta. Itu belum termasuk mereka yang menonton ulang setelah sesi live habis.

Tidak heran bahwa Dreas Handersen saat ini menempati tangga nomor 1 YouTuber terpopuler dan terkaya di Indonesia.

"Pernah sih," jawab Daenys ragu. Empat tahun setelah karyanya mulai didengar orang bukan termasuk waktu yang pendek walau  mungkin dibanding rekan-rekan sejawatnya cuma Daenys yang paling jarang tampil di publik untuk berbicara hal selain musik. "Tapi jarang."

Mendengar jawaban sepotong-sepotong itu, Dreas tertawa. "Kamu beneran irit ngomong aslinya ya, saya kira kayak gitu dibentuk manajemen."

Alih-alih tersinggung, gurauan Dreas membuat Daenys berhasil menyunggingkan senyum pertamanya setelah dia melangkah ke ruangan kedap suara itu. "Lebih ke nggak jago sih um... Pak."

Kali ini tawa Dreas meledak. "Mentang-mentang saya sudah masuk awal kepala empat, ya jangan panggil Pak juga dong. Kita kan nggak lagi wawancara kerja. Panggil nama aja."

Daenys menggeleng. Usianya dan Dreas terpaut belasan tahun. Tidak mungkin cuma sekedar panggil nama. "Maaf Mas, saya belum terlalu biasa untuk... interview."

"Santai," Dreas mengibas tangannya, lalu menunjuk dua buah kursi yang dipisahkan oleh satu buah meja kecil tempat live akan diadakan. "Seperti yang sudah disepakati antara tim saya dengan manajemen kamu, di sini kamu punya hak untuk berbicara apapun tanpa script. Adapun  pertanyaan saya yang nanti tidak ingin kamu jawab, kamu punya hak untuk tidak menjawab. Kalau nggak nyaman, bisa langsung bilang. Tapi ingat, saya nggak ada niat bikin kamu nggak nyaman. Memberikan tontonan terbaik adalah tujuan utama kita berdua, jadi saya minta tolong kerjasamanya juga, dan saya janji akan selalu memperlakukan tamu saya dengan baik."

Entah karena wajah Dreas adalah wajah yang familiar Daenys saksikan dari televisinya lewat acara talkshow yang eksis selama belasan tahun sampai akhirnya dia pindah ke platform digital lain, atau karena pengalaman menghadapi ribuan tamu membuat Dreas handal membuat nyaman lawan bicaranya. Mungkin keduanya.

"Oke Mas," sebuah senyum kecil tersungging di bibir Daenys yang disapukan lip tint bernuansa cokelat. 

Dreas membalas Daenys, lalu bersiap mengambil tempat di kursinya, memasang segala perlengkapan audionya sendiri. 

Sementara Daenys juga sama bersiap, hanya saja dirinya dibantu oleh Tyra, produser acara podcast Next Door. Di dalam sana hanya ada lima orang, camera person, Tyra, satu orang yang memantau audio dan mereka berdua. Sementara Uma menunggu di ruang tunggu.

"Elo beneran bisa sendirian di dalam?" tanyanya masih tak yakin Daenys berani ditinggal sendiri di dalam lingkungan yang asing. 

"Iya nggak apa-apa Kak," jawab Daenys mantap sebelum melangkah masuk. "Aku titip ini aja. Nggak boleh dibawa masuk soalnya."

Daenys menyerahkan ponselnya yang menampilkan wallpaper pantai kepada Uma. Sangat jarang Daenys mempercayakan benda yang diyakini sebagai benda terpentingnya itu kepada siapapun, bahkan manajernya sendiri. Namun peraturan dari tim Dreas adalah tamu tidak boleh membawa alat komunikasi apapun. 

Dengan kata lain, Daenys benar-benar terisolasi.

"Kamu bisa dengar saya?"

Suara Dreas yang renyah terdengar jelas lewat headphone yang menempel di telinga Daenys. Meskipun tidak hanya berdua, keberadaan benda itu membuat seolah-olah hanya mereka yang ada di sana. 

Kalau Ibu ada di sini, pasti seneng banget sampai pingsan. 

"Bisa Mas."

"Wow, memang dasar penyanyi ya, pakai headphone begini suara kamu jadi makin jelas. Ngomong aja merdu banget."

Daenys terkekeh, tersipu. Ia harus mengakui kebolehan Dreas Handersen dalam menjalani profesinya. Biasanya jika dipuji oleh orang yang baru dikenal, Daenys akan merasa canggung. Namun kali ini dia tidak merasakan ada ketidaknyamanan yang hadir. 

"Oke deh, kalau gitu kita mulai ya, siap semua?" Dreas berpaling menghadap timnya. "Live on camera, this is yours truly Handreas Handersen. And now, our Next Door neighbor is the one and only Daenys Rai!"

Mengikuti briefing yang telah dilakukan, Daenys melambai kepada kamera di depannya. "Halo."

Di layar sebelah kamera akan terpampang jumlah penonton yang bergabung dalam podcast hari itu. Dan belum apa-apa angka ribuan sudah tembus. Itu artinya mereka benar-benar tidak sedang berdua saja. 

Daenys menarik napas panjang, berusaha menutupi dengkulnya yang bergetar. Menyanyi live, tidak masalah. Menyapa penikmat musiknya dengan kata-kata dan puisi, tidak masalah.

Tetapi berada di sini untuk membicarakan hidupnya? Jelas masalah.

"Pertama-tama, terima kasih banyak sudah mau hadir di sini, Daenys. Jujur, saya dan tim kaget sekaligus tersanjung kamu sudah mau menerima undangan kami. Apalagi saya dengar kamu sebelumnya nggak pernah datang ke podcast. Benar ya? Kenapa?"

"Iya, ini yang pertama,"dan apakah ini akan jadi yang satu-satunya, kita lihat nanti. "Mungkin bisa dibilang sebelumnya aku belum siap bicara di publik."

"Kalau gitu, saya yakin sekali mewakili penggemar kamu dan juga warganet lain, mumpung kamu sudah hadir saat ini di depan kami, let's find out. Bagaimana kabarnya dunia seorang Daenys Rai?"



Dunia DaenysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang