67#

574 67 9
                                    

Satu Minggu kemudian, dokter dan Haikal baru membebaskan ku untuk keluar dari kamar. Betapa sejuknya udara yang kucium setelah sekian lama terkurung di dalam ruangan.

Saking senangnya, aku bahkan melompat-lompat riang di taman yang penuh dengan salju.

"Kak Dita, pakai syalmu!" Haikal menghampiriku dengan membawa kain berwarna maroon. Itu syal buatan Haikal. Anak itu menambah keterampilannya dengan menyulam.

"Ayo kita membuat Snowman!" ajakku usai Haikal membelitkan syal itu di leherku. Hm, jadi lebih hangat.

"Baiklah."

Kami akhirnya membuat manusia salju. Aku masih ingat, dulu ketika di desa, saat musim salju ketika Haikal tidak sakit, kami akan membuat orang-orangan salju seperti sekarang. Tidak hanya aku dan Haikal. Melainkan ayah dan ibu kami juga akan bergabung.

Masa itu cukup indah untuk dikenang. Memang kami memiliki keterbatasan dalam keuangan. Namun aku bersyukur keluargaku menyayangiku begitu besar. Sekalipun aku menjadi anak yang dikucilkan karena perbedaan fisik, tapi aku tidak pernah menyesali keberadaan ku di desa itu.

Duk!

Tes!

Baru saja Snowman terbentuk dengan sempurna. Hanya tinggal menambahkan ranting dan wortel sebagai tangan hidung, Haikal sudah melempariku dengan bola salju.

"Kau ingin perang?" Aku sudah mengambil satu kepal salju di tangan.

"Ya, kalau bisa lawan aku!"

Kebiasaan lain dalam keluarga kami adalah memainkan perang bola salju. Biasanya aku akan satu tim dengan ayah. "Haikal, kau ingat kan, kau tidak pernah mengalahkanku dalam permainan ini."

Aku melemparkan bola salju padanya.  Tepat mengenai hidung bangirnya. Aku terbahak. Melihat adikku yang kesal mengelap sisa-sisa kristal salju di wajahnya.

Pluk!

Bola salju dari Haikal tepat mengenai kepalaku. "Aku akan membuat sejarah baru dengan mengalahkanmu kali ini!"

Serentak, kami saling melemparkan bola salju yang sudah kami buat masing-masing. Sudah lama sekali kami tidak bersenang - senang seperti ini. Kapan terakhir kali kami memainkan salju?

Tahun lalu?

Saat orangtua kami masih hidup lebih tepatnya. Karena semenjak kepergian mereka, hidup kami menjadi berubah 180⁰. Jangankan memainkan salju seperti saat ini. Aku bahkan sangat bersyukur jika Haikal sehat dan kami menghabiskan waktu dengan minum teh dan melukis bersama.

Sesuatu yang sederhana memang.

"Oh, lihat dirimu, Kak. Kau penuh dengan salju!"

Pluk!

Lagi dan lagi, lemparan salju dari anak itu mendarat depat di hadapanku. "Cih, coba lihat dirimu lebih dulu, bocah!"

Aku melemparkan bola salju pada Haikal. Namun anak itu menghindar hingga bola salju itu mengenai seseorang. Tepat di dadanya. Aku terhenti seketika. Tanganku yang semula sudah bersiap mengambil salju kembali seketika berhenti.

Melihat siapa yang ada di belakang Haikal mood-ku memburuk. Aku menatapnya jenuh dan segera menarik Haikal untuk pergi darinya. Baru dua langkah kami menjauh, satu lemparan bola salju mengenai kepalaku.

"Mau bertaruh? Jika kau bisa mengalahkanku, aku akan mengajakmu ke kampung halamanmu, bagaimana?"

Jaehyun berwajah datar seperti biasa. Ekspresinya yang selalu dingin, bertambah beku jika dipadukan dengan salju.

"Ti--"

"Deal!"

Haikal menyelaku. Anak itu yang semula berdiri di belakangku, maju ke depan. Mataku menatapnya tajam. Apa-apaan tindakan Haikal saat ini?

"Oke. Mari tentukan permainannya."

Haikal dengan semangat mendekati Jaehyun. Menjelaskan peraturan yang ia ketahui.

Aku hanya diam mematung. Haikal sudah kembali. Mereka sama-sama sudah siap untuk kembali beperang.

"Kak, kau mau timku, atau dia?"

Haikal menanyakan sesuatu yang jelas. "Tentu saja kau."

***

Segini dulu yak. Zafa ngantuk berat

Menjadi Simpanan JaehyunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang