3.

16 3 0
                                    

Sudah seminggu dari percakapanku dengan Arjuna. Sekarang aku merasa aneh dengan keadaan kami, entah kenapa aku merasa ini semua mengagetkan diriku. Bayangin aja, aku dan dia sebelumnya ini teman tapi kok sekarang malah begini?

 Aku meminta kepada Arjuna untuk menyembunyikan ini kepada teman kami. Seengaknya sampai hari dimana kami sebar undangan atau malah menggagalkan rencana.

"Ra hari jumat gue mau golf sama teman kantor, ikut gak?" Ajakan Arjuna disambungan telfon membuat aku berpikir sejenak. Hari itu tanggal merah, termasuk long weekend juga sih. Biasanya aku milih untuk tidur-tiduran dirumah atau bantu-bantu pembantu bersih-bersih rumah. Tapi kayaknya lebih enak ikut Arjuna sih.

"Boleh deh, jam berapa emang? Pagi ya?"

"Enggak kok, sore jam 4 an temen gue anti matahari pagi." Aku tertawa pelan. Mulai dari hari itu aku dan Arjuna sekarang sedang dalam masa pendekatan. Sebenarnya formalitas aja sih, menyesuaikan diri satu sama lain. Sebelum bulan depan aku akan memboyong Arjuna ke Solo.

"Yaudah kabarin ya, gue mau lanjut kerja dulu. Sebentar lagi mau briefing sama divisi sebelah." Mataku melirik kearah meja sebrang, tempat duduk atasanku yang sudah kosong. Artinya mereka sudah dalam perjalanan ke ruangan briefing. Dengan segera aku merapikan beberapa lembar file sembari menjepit ponsel diantar bahu dan telinga.

"Oke deh, semangat kerjanya calon istriku."

"Ih apaan sih! Geli Jun!" Aku segera menutup sambungan telfon ketika mendengar tawa Arjuna di sebrang. Tanpa babibu aku segera melesat ke ruang briefing, gak ada waktu untuk salah tingkah karena godaan Arjuna.

Selesai briefing aku menuju meja kerja dengan beberapa file yang bertambah di tangan. Posisiku sebagai kepala divisi Human Resource kerap menjadi cibiran teman-teman kantor yang iri dengan pencapaianku. Dulu aku diangkat jadi kepala divisi oleh Pak Hermawan selaku pemilik dari perusahaan tempatku bekerja. Beliau merasa aku cukup kompeten untuk menduduki jabatanku yang sekarang. Cuman seiring berjalannya waktu, ternyata banyak yang tidak menyukai dengan diangkatnya aku menjadi kepala divisi.

Salah satunya adalah Rina, perempuan yang barusan menyenggol bahu kiriku dengan keras seraya ketukan sepatu heels nya menggema di Lorong kantor. Badannya yang semampai bak model itu melenggong ke ruangan Pak Andi—komisaris utama—dengan congkak dan sombong. Aku memilih diam dan tetap melanjutkan jalan ke kubikelku.

Benar kata Mamah, hidup di Jakarta adalah ajang untuk senggol-senggolan. Teman aja kadang harus pilih-pilih, pilih untuk menjadi teman senasib, teman kantor, teman makan, teman main dan masih banyak lagi. Dulu aku cuman tahu teman adalah sosok yang bisa diajak dimanapun dan kapanpun, namun ternyata tidak berlaku di kota metropolitan ini.

Mataku mengarah ke ponsel setelah berkedip beberapa kali.

Wiwit: Nanti sore temenin gue ke mall dong, gue jemput di kantor.

Wiwit: Gue lagi butuh asupan shopping cantik

Tapi tidak berlaku untuk Wiwit, sahabatku yang baru melepas status lajangnya tahun kemarin ini sudah menemani aku dari susah sampai bangkit kemudian susah lagi dan sampai detik ini. Aku hanya berharap Wiwit terus bertahan di sisiku sampai hembusan nafas terakhir. Selain Mamah dan Ayah, Wiwit merupakan sosok penting dalam hidupku.

"Jadi gimana? Tetep mau lo lanjutin rencana lo sama Juna?" tanya Wiwit. Kini kami sedang di dalam toko baju wanita. Aku melirik Wiwit yang kini sedang mencoba rok mini di tempelkan di pahanya.

"Kayak cabe-cabean." Sahutku salah fokus dengan rok yang ia pilih. Wiwit mendengus kesal. "Gatau sih, I guess we try for a while. Beriringan waktu aja Wit, gue juga gak mau buru-buru tapi gatau Juna udh diburu-buruin atau enggak." Jawabku dengan pelan. Mataku melihat-lihat pakaian yang digantung cukup menarik. Warnanya yang earth tone sangat aku suka.

"Gue emang gak setuju Ra sama keputusan lo milih Juna, tapi ya gue disini cuman bisa doain lo yang baik-baik. Lo juga udah gede, lo tahu apa yang terbaik buat diri lo." Wiwit menepuk pundakku dua kali. Aku tersenyum hangat padanya.

"Makasih ya sahabat cantikku!" Aku memeluk dirinya yang lebih pendek dari tubuhkku.

Wiwit mendorong-dorong tubuhku, "Jijik! Kayak lesbi!" Aku tertawa dan melepas pelukannya. "Tapi, enak juga Juna dapet lo. Dada lo gede apalagi pan—"

Bugh!

"Aduh! Sakit anjing!" ringis Wiwit setelah aku memukul lengan kanan dia.

"Mulut lo kudu di sekolahin lagi," jariku hendak menyentil bibirnya yang diberi lipstick dark brown itu dengan pelan. 

Wiwit mengaduh dengan tangan yang terus mengelus lengannya, "Lo juga bersyukur tuh dapet Juna pas udah glow up gini. Doi sekarang udah sering nge gym, kan pasti tit—"

"AMPUN! AMPUNN!"

Wiwit berlari keluar toko melihat tanganku yang sudah siap untuk menabok lengan satunya. Sialan Wiwit bikin pikiran gue kemana-mana aja. 

Try Harder, Love Harder.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang