Tidur siangku hari libur ini terganggu karena deringan ponselku yang menggema keras. Sialan gue lupa kan hari ini ada janji sama Juna!
Secepat kilat aku bersiap dan dandan separipurna mungkin. Di depan rumah sudah ada Arjuna dengan mobil BMW Putihnya yang kinclong, persis se-kinclong yang punya. Di dalam perjalanan kami sempat drive thru burger. Arjuna bilang kalau dia belum sempat makan dari siang. Sembari melahap burger punyaku, aku beberapa kali menyuapi Arjuna yang sibuk menyetir. Perjalanan yang melewati tol dalam kota ini cukup memakan waktu. Cowok disebelahku beberapa kali juga mengumpat karena kemacetan ini.
Hingga sampailah kami di salah satu driving range golf di daerah Bogor. Tempatnya yang mewah dan jejeran mobil berharga fantastis membuatku paham kalau ini tempatnya orang-orang kaya bermain golf. Sudut mataku memandang ada dua orang caddy yang sigap mendatangi mobil Arjuna dan membuka bagasi belakangnya. Dua caddy itu perempuan, berpakaian selayaknya caddy tapi tidak memakai topi. Aku melihat lekukan tubuh mereka sangat bagus, harusnya jadi model bukan caddy.
Salah satu dari mereka menghampiri Arjuna, rambutnya yang panjang dan bergelombang itu cukup menarik perhatianku. Rambutnya bagus banget anjir! Wiwit kalau lihat pasti kepengin. Aku memegang rambutku yang cenderung tipis dan lurus. Ini berkat gen milik Mamah yang rambutnya mudah jatoh seperti ini.
Aku turun dari mobil, dapatku lihat pandangan dua caddy itu sedikit kaget melihat aku turun dari kursi penumpang.
"Tumben bawa teman Mas Juna." Si rambut badai menatapku dari atas sampai bawah. Aku melirik Arjuna yang sedang memberikan kunci mobil ke petugas valet.
"Iya nih Cer, lagi kepengen ditemenin." Arjuna menoleh kearahku. Kemudian mengajak aku dengan tatapannya masuk kedalam. Dari lobby menuju lapangan cukup jauh, dan itu juga cukup buat aku jengkel karena si rambut badai kerap kali mencoba menjauhkan aku dari Arjuna. Seperti sekarang, aku udah berusaha diri disebelah Arjuna, tapi tiba-tiba dia menyalip dan sok mengarahkan Arjuna.
Kini aku dengan jengkel dan kesal berjalan dua langkah dibelakang mereka bertiga. Caddy yang dari tadi diam hanya fokus membawa tas stick golf milik Arjuna yang besarnya hampir sebadan dia. Mungil banget ini cewek.
Rasa minder tiba-tiba menyeruak ke dadaku. Beruntung kemarin di mall aku sempat membeli satu set pakaian golf. Rok sepaha, baju dan jaket yang aku pakai kini cukup membuat aku tidak merasa salah kostum. Arjuna hari ini tampil memukau, badan atletisnya di lapisi jaket kulit berwarna coklat dan celana training yang membentuk kakinya dengan bagus. Tapi tetap saja, rasanya aku sangat kecil di tempat perkumpulan orang-orang kaya seperti ini. Apalagi dari tadi banyak seliweran orang-orang beraura borjuis lewat di lobby. Bahkan kalau aku tidak salah lihat, tadi ada salah satu artis papan atas keluar dari bilik toilet perempuan.
Aku merasakan getaran di dalam shoulder bag ku. Bukan punya gue, aku menatap ponsel satu lagi yang memiliki casing hitam. Milik Arjuna yang dititipkan ke tasku lengkap dengan dompetnya. Laki-laki dan tas adalah musuh.
Aku berlari kecil menghampiri Arjuna yang sudah lumayan jauh didepan, "Juna! Ada telfon." Aku menepuk bahunya dan memberi ponselnya. Arjuna bergumam dan sedikit menjauh dari kami. Kini kami bertiga berhenti di tempat parkir golf kart, mataku melirik kearah si rambut badai yang kini bersedekap menatap aku terang-terangan.
Aku berdehem singkat, dan mundur satu langkah ketika menyadari aku dan dia berdiri terlalu dekat. Sedangkan si pendiam—caddy satu lagi—sibuk menaruh tas golf Arjuna di salah satu golf kart.
"Gue udah sampai kok, oke siap tungguin ya Bro." Arjuna menutup panggilan. "Nih Ra," Kemudian laki-laki itu kembali memberi ponselnya ke aku.
"Langsung ke lapangan kan Mas?" tanya si pendiam.
Arjuna mengangguk, "Ayok naik langsung, lumayan capek kalau gak pake golf kart." Aku sedikit kaget ketika tangan Arjuna menarik pinggangku kearah golf kart. Kini tubuhku dengan tubuhnya tidak berjarak sama sekali. Di dalam tempat duduk pun aku ditempatkan di sebalah dirinya yang mengambil alih kendali.
Suara cebikan dibelakang membuat mataku melirik pada kaca spion tengah. Dibelakang tempat duduk si rambut badai dan si pendiam, si rambut badai menatap aku dengan sinis. Aku menahan senyumku dengan kuat dan tidak mencoba untuk tertawa.
Hoho! 1-0!
Kini aku sudah setia berdiri dipinggir lapangan kurang lebih hampir setengah jam, melihat Arjuna dan ketiga kawannya bermain golf. Mataku menelaah pemandangan di depan, lapangan ini cukup indah malah terbilang sangat indah. Di sebelah barat terdapat danau buatan yang memiliki air pancuran di tengahnya, di belakang aku bediri terdapat pacuan kuda yang aku dengar merupakan milik dari owner lapangan golf ini.
"Cemen lo! Percuma tiap hari Latihan kalau mukul jauh aja belum kuat." Sindiran yang muncul dari salah satu teman Arjuna mengalihkan perhatianku. Mereka ini teman kantor Arjuna. Yang sedang mengejek kalau tidak salah namanya Kevin dan yang diejek Rio. Sedangkan satu lagi Wildan yang paling berisik dan tidak bisa diam dari tadi.
"Vin! Liat nih pukulan gue, kalau lebih dari tiga ratus lo traktir gue Wolf Gang minggu depan!" teriakan dari Wildan membuat mereka tertawa. Sedangkan Kevin hanya menyeringai pelan.
"Coba aja." Tantangan dari Wildan diterima Kevin. Ternyata sayang disayang Wildan tidak berhasil sampai ke target. "Yah! Cupu mah udah cupu aja Dan!" Gelak tawa dari Kevin membuat Wildan mengeluarkan sumpah serapah dan memberikan sticknya ke caddy.
"Ngomong-ngomong, cewek lo gak mau nyoba Jun?" Pertanyaan dari Kevin membuat Arjuna menoleh kearahku. Sedari tadi pukulan dari Arjuna lah yang paling bagus dan permainan pria tersebut kerap di beri applause oleh kawannya.
"Mau coba gak Ra?" tanya Arjuna. Aku meringis dan menggeleng pelan. "Pelan-pelan aja dulu. Cer tolong stick G430." Titah dari Arjun dilaksanakan si rambut badai. Arjuna memberikan stick yang berukuran lebih pendek ke diriku. Tangannya mengiring bahuku untuk sesuai posisi. "Begini tangannya. Lurusin ini sikutnya, jangan sampai tegang bahunya Ra." Tangan Arjuna menekan kebawah bahuku yang tanpa sadar menaik.
Aku merasakan seseorang memegang pinggangku, "Maaf Kak, badannya sedikit bungkuk ya biar nanti gak cedera pinggulnya." Aku menoleh dan mendapati si pendiam yang barusan membenarkan posisiku.
"Eh iya, makasih." Aku tersenyum singkat. Kini mataku beralih ke bola yang sudah sesuai dengan posisinya dan melihat jauh kedepan. Sialan gue aja gak bisa lihat hole nya yang mana.
"Rileks aja Ra, pukul sekuat mungkin." Perkataan dari Arjuna sedikit membuat aku tenang. Sebelum aku mulai untuk memukul, tiba-tiba aku merasa sesuatu melingkari pinggulku. Arjuna mengikat jaketnya ke pinggangku.
"Rok lo pendek banget sih, bikin gue keringet dingin aja liatnya." Arjuna berbisik tepat ditelinga kananku seraya tangannya menguatkan simpul ikatan jaket.
"Yelah Jun! Kalau begitu mah, besok cewek lo golf suruh pake baju gamis aja sekalian!" Seruan dari Wildan membuat yang lainnya tertawa. Arjuna pun tersenyum ketika aku menatapnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Try Harder, Love Harder.
ChickLitSebenarnya Tuhan itu udah mempersiapkan jodoh kita, kok. Sisanya Tuhan serahkan oleh hamba-hamba-Nya, mau diam ditempat atau saling sepakat seperti Arjuna dan Ira yang sudah kalang kabut karena jodoh mereka yang belum keliatan juga. Dan juga, Tuhan...