11.

4 0 0
                                    

Dari dulu aku selalu mencoba untuk kabur dari masalah, kerap kali sering di ejek teman-temanku yang menurut mereka aku ini kurang dewasa. Seperti Wiwit yang hari ini menginap dirumahku karena berantem hebat dengan suaminya. Sang suami yang berwatak keras membuat ego Wiwit serasa di injak-injak. Sahabatku yang dari dulu hobi marah-marah ini, mendadak harus menurut suami tentunya membuat Wiwit culture shock.

Kini aku hanya bisa mengusap punggungnya pelan berusaha menenangkannya. Sampai pukul sebelas malam, Wiwit belum ada aba-aba akan berhenti menangis. Tissue dirumahku sudah habis setengah menghapus linangan air matanya.

"Sabar Wit, mau gimanapun dia kan suami lo--kepala keluarga lho. Se sakit-sakitnya lo sebagai istri, gak boleh sampai ngelawan suami. Dosa Wit." Ucapku sembari terus mengelus punggungnya. Tak lama Wiwit bersandar pada sofa dan menghela nafasnya. Matanya yang merah dan bengap menggambarkan sekali kalau dia habis nangis hampir seharian penuh.

Besok senin dan aku belum tidur jam segini, alamat bangun siang.

"Tapi Ra, harusnya Egi paham kalau gue gak suka sama tante-tantenya."Misuh Wiwit sembari mengelap ingusnya, "Mulutnya itu lho, ngelebih-lebihin setan!" Aku tertawa mendengar gerutunya. Dari awal masa pdkt, Wiwit emang kurang suka dengan keluarga Egi –terutama tante-tantenya. Dulu aku juga sering menyinggung masalah ini kepada Wiwit, seperti meyakinkan dia untuk berpikir kembali atau mencoba lebih keras mengambil hati mereka. Karena pasti rasanya nyiksa banget, hidup di lingkaran orang yang membenci kita.

"Udah sabar Wit, tarik nafas." Aku ikut menarik nafas dan menghembuskan keluar seraya bersandar pada sofa. Mataku melihat langit-langit ruang tamu, membuat pikiranku melayang-layang. Andai Wiwit nikah sama mantannya, pasti gak kayak gini. Sebelum Egi, Wiwit pernah memiliki pacar. Sosok anak yang baik, ramah, sopan dan hasil dari pure blood kedokteran. Iya mantannya Wiwit itu anak kedokteran. Mungkin sekarang lagi mengenyam pendidikan dokter residen.

"Kalau lagi kayak gini, gue nyesel banget nikah sama Egi." Ucap Wiwit pelan. Aku hanya menoleh ke wajahnya yang basah. Tatapan kosong ada di matanya yang terhias bulu mata palsu. Wiwit cantik dengan segala yang ada di dirinya, memang salah pilih pasangan aja.

Aku menepuk-nepuk pahanya, "Gak boleh kepikiran kayak gitu, dosa. Harus mulai sabar dan ikhlas. Kan, sekarang udah jadi istri orang, Wit." Jelasku dengan pelan. Aku berharap Wiwit tidak kembali melakukan tindakan gegabah.

"Coba dulu gue gak kesetanan cuman karena liat Niko jalan sama adek tingkatnya. Pasti sekarang gue udah di lamar sama dia."

"Heh!" Aku meninggikan suara ketika omongannya mulai melantur.

"Bener kan Ra? Kalau gue nikah sama Niko, pasti dia gak pernah neriakin gue semarah apapun dia. Coba lo ingat-ingat, dulu keluarga Niko se sayang apa sama gue, Ra." Wiwit sedang bernostalgia. Matanya kembali mengembun air dan siap di tumpahkan. "Harusnya gue percaya tentang cinta pertama." Tetesan air mata kembali keluar dari matanya.

Aku menghela nafas pelan. Luar biasa lelahnya meladenin orang menangis seharian. Tapi perkataan terakhir Wiwit buat aku jadi salah fokus. Cinta pertama? Rasanya aku gak pernah ngerasain cinta pertama. Semua rasa suka dan sayang yang pernah aku rasakan kayaknya cuman cinta monyet.

"Gimana sih Wit, rasanya punya cinta pertama?" tanyaku.

Wiwit melirik. "Rasanya berbunga-bunga, pipi lo pegel karena nyengir mulu, dan rasanya waktu pengen lo berhentiin aja karena lo udah ngerasa bahagia." Penjelasan singkat Wiwit makin membuat aku berpikir. Gue gak pernah ngerasain itu semua.

Aku menghela nafas pelan, "Ada gak yang yang jadiin gue cinta pertamanya..." aku berbisik lirih. Tapi sepertinya di dengar Wiwit. Kepalanya menoleh kearahku sepenuhnya.

"Loh, lo gak tahu?" Wiwit bertanya sembari mebelakkan matanya. Aku mengernyitkan dahi, bingung maksudnya apa.

"Ra lo gak tahu?" desak Wiwit lagi sembari memegang lenganku.

"Apa sih Wit? Gak tahu apaan?"

Wiwit mengendurkan pegangannya, matanya masih menatap diriku seakan aku ini sedang berbohong. "Gak apa-apa, Ra." Wiwit kembali duduk ke sofa dengan tenang. Bahkan kini matanya tertutup.

Aku mendesis sebal, "Gak jelas." Ucapku sembari berjalan ke dapur. Baru beberapa langkah, kakiku berhenti karena ucapan Wiwit selanjutnya membuat aku rasanya mati kutu.

"Teman kita pernah ada yang suka sama lo," Aku diam diposisi berdiriku. Kaget. Aku berbalik menatap Wiwit yang masih memejamkan matanya. "Dari SMP." Lanjutan perkataan Wiwit membuat rasanya rahangku jatuh ke lantai. Aku menutup mulutku dengan perasaan kaget yang masih mendebarkan.

Jantungku rasanya berdebar lebih kencang, teman yang dikatakan Wiwit pasti teman smp. Perasaan aneh ini menjalar dari dada ke otakku. Semua nama aku ingat, dari kelas 7 sampai 9. Sial gue gak inget siapa-siapa lagi! Selain Gilang, Tara, Arjuna, Radit, Engga sama Rasyid.

Aku berlari kearah Wiwit dan mengguncang tubuhnya hebat. "Siapa Wit?! Kasih tau gue!" desakku sembari mengguncang lengannya. Wiwit memejamkan matanya melihat aku yang teriak-teriak.

"Wiwittt! Buruan kasih tau gue." Aku masih berusaha mendesakknya.

Wiwit menatapku dengan menyipitkan pandangannya. Tangannya yang masih aku tahan segera aku lepas. Aku mengulum bibir begitu melihat Wiwit yang hendak membuka mulutnya.

"Minggir! Gue ngantuk." Wiwit dengan tenaga menyingkirkan tubuhku, membuat aku terhuyung ke kiri. Wanita itu langsung lari kearah kamarku dan menutup pintu.

"SIALAN! WIWITT! KELUAR LO DARI RUMAH GUE." Aku dapat mendengar gelak tawa dari kamar.

Bugh!

Bugh!

"BUKA WIT! KASIH TAU GUE SEKARANG!"

"Jangan teriak-teriak Ra! Udah malem, tetangga lo ngomel." Sahutnya dari dalam. Aku berdecak sebal, awas lo ya Wit besok gak akan gue lepas!

Aku menyerah mengejar Wiwit dan kembali ke dapur untuk membuat teh hangat. Badanku akhir-akhir ini rasanya kurang enak. Pandanganku menjauh kedepan, masih terasa penasaran dengan apa yang Wiwit sampaikan.

Jujur aku rasanya penasaran sampai mati. Karena sejauhku hidup, aku gak pernah merasa ada seorang cowok yang suka denganku, bahkan tertarikpun mungkin tidak. Masih dengan keterpakuanku dengan fakta bahwa ada yang pernah menyukaiku. Kini aku kembali dibuat terkejut dengan pesan yang muncul di ponselku. Notifikasinya bikin kaget aja.

Arjuna: Ra, si Wiwit jadi nginep?

Ira: Jadi Jun, kenapa?

Arjuna: Suaminya nelfon aku barusan, katanya cuman nomor aku yang dia tahu. Dia minta tolong kirim alamat rumah kamu, mau dijemput sama Egi.

Ira: Bilang sama Egi jemput besok pagi aja barengan sama aku berangkat kerja, kalau sekarang nanti malah makin ngambek Wiwitnya.

Arjuna: Okey, aku forward ya chat kamu. Yaudah kamu tidur yaa, met bobo sayangg...

Aku tidak membalas pesan Arjuna selanjutnya. Karena kini perhatianku teralihkan dengan notifikasi lainnya.

Radityaramadhan (Instagram) Replied to your story : Cantik Ra, lo kayaknya cocok pakai dress bunga-bunga gitu. Biar gak boyish mulu gaya lo HAHAHA

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Try Harder, Love Harder.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang