10.

27 3 0
                                    

Hari ini weekend, aku memutuskan untuk me time di mall. Hitung-hitung self reward lah, karena udah kerja banting tulang. Setelah keluar dari salon spa, badanku rasanya enteng dan kepala lebih terasa nyaman setelah dua hari mengeluh pusing. Arjuna sempat menawari untuk mengantar tapi aku tolak. Nanti namanya bukan jadi me time tapi our time.

Aku masuk kedalam salah satu restaurant pastry yang dari dulu jadi tempat favoritku. Pastrynya yang enak dan murah buat aku jadi gak bisa berpaling kemana-mana. Setelah memesan, aku duduk dan menunggu pesananku datang.

"Loh Ra? Gue kira tadi gue salah orang," Aku mendongak dari ponsel, terkejut mendapati Radit berdiri menjulang tinggi dihadapanku.

Aku tersenyum singkat, "Sama siapa Dit? Duduk dulu." Tawarku sembari menunjuk bangku didepannya. Radit duduk dan melihat suasana sekitar. Tampilannya hari ini sangat fresh. Kayaknya abis potong rambut.

"Abis potong rambut ya Dit?" tanyaku sebelum pertanyaanku yang satu lagi dijawab.

Radit mengibas rambutnya, "Iya Ra, bosen gue potong rambut di Jepang tukang cukurnya gak ada yang inovatif." Gerutunya sambil tertawa pelan. Aku pun menanggapi dengan tawa juga. "Gue kesini tadi bareng temen rumah, cuman barusan izin ke toko sebelah. Pengen beliin titipan istrinya." Jawab Radit aku tanggapi dengan anggukan.

Pesananku datang, segelas coklat dingin dan satu brulee yang menarik perhatianku. "Pesan sana Dit." Suruhku kepada Radit.

"Udah kok Ra," Radit menjawab. "Selera lo dari dulu gak berubah ya, always craving for some sweet." Aku memang sweet tooth dari kecil aku sudah biasa dengan yang manis-manis. Lapar sedikit pasti mencari yang manis, entah roti di beri selai coklat atau pisang bakar coklat keju yang dulu Mamah selalu beli di pagi hari.

Aku tertawa pelan saat menyesap coklat dinginku. Tak lama pesanan Radit datang, ice americano minuman sejuta umat laki-laki.

"Kata berita, kebanyakan minum kopi bikin impoten Dit." Usilku melihat ia meminum kopinya.

Radit tertawa pelan dan mengibaskan tangannya, "Halah hoax itu. Bapak gue gak minum kopi aja, ujungnya tetap impoten juga." Sahut bercandaan Radit membuat aku terpingkal.

Kacamata yang tempo hari aku lihat bertengger di hidungnya, kini tidak ada. Tapi aku dapat melihat adanya kontak lensa di matanya. Meski samar tapi aku dapat melihat kilauannya. Jepang mengubah gaya Radit banget.

"Ngomong-ngomong, how's Japan so far?" tanyaku menatap Radit dengan penasaran. Dulu Radit pernah bercerita kalau ia memang ingin merantau tapi, keluar negeri karena merasa pekerjaan di negeri sendiri kebanyakan mempersulit pelamar.

Radit menarik nafas pelan sebelum menjawab, "Yaa, so so lah." Tangannya bergerak kanan dan kiri, memperagakan hal yang seimbang. "Kadang ada senengnya, tapi gak sedikit juga jeleknya." Lanjutnya dengan pelan.

"Lo tahu kan, di Jepang angka kelahiran menurun drastis banget?" tanyanya.

Aku mengangguk, tentu semua orang didunia ini juga tahu kalau Jepang termasuk negara dengan angka kelahiran terendah. Penurunan grafik selalu dialami Jepang tiap tahunnya.

"Itu bikin Jepang jadi sepi banget Ra. Apalagi di district tempat gue tinggal, gue udah pindah dari Tokyo. Sempet sih tinggal di Shibuya, lumayan rame disana tapi gak betah soalnya ada mantan." Radit tertawa pelan. Aku pun menyeringai singkat.

"Keren banget lo pacaran sama cewek Jepang, emang pada mau?"

Radit membelakkan matanya, "Jangan salah Ra! Gue emang gak laku di negeri sendiri, tapi di Jepang mah busehh, ngantri Ra! Ngantri." Jawab Radit dengan antusias. Aku tertawa melihat ekspresi konyolnya, Radit si manusia lucu.

Getaran ponsel disaku Radit memberhentikan tawanya. Ia berdiri dan mengangkat telfon.

"Gue di restaurant sebelah Wan, iya kesini aja ada teman smp gue." Kemudian Radit kembali duduk dan tak lama ada laki-laki yang aku taksir pasti temannya Radit.

"Kenalin Wan ini Ira, temen smp gue. Ra kenalin ini Iwan, temen rumah gu,e baru jadi bapak nih." Radit menepuk-nepuk pundak Iwan dengan bangga. Aku pun terkejut.

"Iya salam kenal Wan, wah! selamat ya semoga bahagia terus." Aku berjabat tangan dengan Iwan dan kami kembali duduk.

Iwan menoleh ke Radit, "Lo cepet banget sih kaburnya, gue kira ilang."

Radit mencebik, "Lo kira gue udah buta apa sama mall di Indo?" kesal Radit. Iwan pun tertawa pelan sebelum menatapku penuh.

"Ini Ira yang teman smp Radit yang dulu rambutnya di kepang terus?"

Aku tertawa mengingat itu, "Iya bener, kok inget aja sih?"

Iwan tersenyum lebar. "Inget lah! Kan dulu Radit sering cerita sama gue tentang dia suk—"

"Ayok cabut aja Wan." Aku kaget dengan gerakan tiba-tiba Radit yang berdiri dari kursi. Ia menenteng gelas kopinya dan hendak berjalan keluar.

"Buru-buru banget Dit," sahutku. Radit melirikku sebentar sebelum matanya menatap Iwan disebelahnya. Iwan cengar-cengir melihat Radit, sembari mengambil dua paper bag besar yang sempat ia taruh di bawah.

"Tau nih Radit buru-buru aja, nostalgia dulu lah sama cinta per—"

"Bini lo nanti ngomel, Wan!" Sahut Radit lumayan keras seraya berjalan keluar restaurant. Iwan pun pamit padaku, aku menatap kepergian mereka dengan bingung. Maksud Iwan tadi apa ya? Entah lah aku pun dengan segera duduk kembali dan memilih melanjutkan acara makan-makan cantikku. 

Try Harder, Love Harder.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang