2. RUMAH DJATI SEMARANG

231 17 0
                                    

Selamat membaca...

Jenuh aku mendengar
manisnya kata cinta
Lebih baik sendiri

Alunan lagu Bintang Kehidupan terus memutar sejak matahari terbit. Disinilah aku tinggal, di kampung Djati djiwo terletak di Semarang pojok. Sudah 5 tahun aku tinggal disini. Bersama keluarga Admodjo begitu menyenangkan.

Suasana disini jauh berbeda dengan kota, mulai dari bangunan-bangunan tinggi yang terdapat dikota, disini hanya ada pepohonan yang berdiri gagah menopang rimbunnya dedaunan hijau dan akan gugur ketika musim panas mulai menyerang, tidak lupa pula terdapat beberapa gunung menjulang tinggi keangkasa.

Jalur jalan raya disini selalu menyuguhkan bentangan sawah yang mulai menguning yang mampu memanjakan mata. Ditepi jalan sisi kanan kiri, rerumputan hijau nampak sempurna. Bunga dandelion menyebar dimana-mana.

Didesa sini, petani banyak sekali menanam padi dan jagung. Suara jangkrik dan katak menjadi alunan musik alami ditepi persawahan ketika sore hari datang. Tak ketinggalan juga suara gemericik air mengalir dari saluran diirigasi untuk media tanam.

Kebisingan dan polusi disini masih rendah sebab disini hanya ada satu dua kendaraan yang lewat. Kebanyakan disini masih mengunakan sepeda ontel untuk menempuh jarak jauh. Orang-orang sini yang hendak ke desa sebelah pun biasanya memilih memotong jalur jalan raya yaitu melewati jalur sawah, melewati jalan setapak yang panjang dan penuh lumpur akibat terlalu sering menjadi pijakan petani sekitar. Menyeberangi sungai, meloncat dari batu satu kebatu lainnya. Terkadang sungai yang sering diseberangi, warga sekitar memberikan akses, yaitu dengan jembatan yang berasal dari bambu.

Sungai yang cukup panjang dan besar disini menjadi media utama agar petani bisa menggarap lahannya. Sungai disini juga masih mengalir jernih belum tercemar dengan buangan sampah rumahan, ikan-ikan kecil masih bisa dilihat di pojok-pojok batu besar. Udang-udang segar bersembunyi dibalik bebatuan.

Udara disini terbilang dingin. Embuh dan kabut menjadi pembuka pagi hari.

"Sial, Dingin sekali hari ini." gerutu laki-laki muda. Melangkah maju mercoba meninggalkan rumah. Membawa baskom dan juga jaring kecil ditangannya.

"Biasanya juga seperti ini." perempuan itu menggut-manggut menyetujui pertanyaan itu. Walaupun pertanyaan itu tidak ditujukan kepadanya ia menyambung kalimat milik kakaknya. "Eh, kamu kan ngga pernah bangun pagi, jadi ngga tahu masalah biasa in." sambungnya. Perempuan muda tertawa lepas. Membuka mulut lebar-lebar memamerkan gigi putihnya.

Laki-laki muda itu tampak kesal dengan ucapan adiknya.

"Apa kamu mau nyari ikan lagi, Mas?"

Laki-laki muda tidak menjawab hanya tersenyum dan kembali memasuki rumah, tapi tangannya sangat gesit melemparkan baskom kearah adik tengahnya. "Ya kena." celetupnya ketika tahu bahwa baskom itu mengenai punggung perempuan itu. Anak perempuan itu hanya terdiam dan mengambil baskom yang mengenai tubuhnya, seolah-olah hanya itu yang ditunggunya.

"Me, Ayo masuk! Nanti sakit." kata perempuan muda menarik tanganku.

Dirumah tua berbentuk joglo bermaterial kayu jati. Rumah kami terlihat mewah dan arsi, sebab adanya tanaman bunga yang tersusun rapi. Rumah paling nyaman yang aku tinggali saat ini. Banyak jenis bunga yang dikoleksi ayahku; dari mawar, kamboja, melati, bunga sepatu, bunga terompet, serta tanaman-tanaman daun. Ayahku menyukai tanaman bahkan ia juga membuat pupuk sendiri dari kotoran hewan dan dedaunan.

Sepasang Dandelion //On-goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang