7. APA IMPIANMU?

37 2 0
                                    

Selamat Membaca...

Suara teriakan teko memenuhi ruangan. Aku yang tengah duduk diruang makan dengan kebisuan menyimak perbincangan kakak kali ini. Kinan berdiri melangkah mendekati kompor dan mematikannya. Mengangkat teko dan menuangkannya kedalam termos besar.

"Kapan kamu mau cari pasangan, Mas?" Sebuah pertanyaan sensitif yang bisa memicu kemarahan bagi pendengarnya. Siapa sangka kinan yang tampak tidak peduli kepada kakaknya tiba-tiba bertanya soal itu. Membicarakan tentang pasangan hidup memang tidak ada habisnya. Apalagi hubungan cinta remaja yang bisa dibilang cinta monyet. Cinta tanpa tujuan, yang didasari obsesi.

"Aku tidak bisa jatuh cinta lagi." jawab Benna.

"Cewek yang diperempatan jalan kemarin itu siapa?"

Benna mengernyitkan dahi. Mencoba mengingat.
Tidak paham! Benna tidak mengerti siapa yang Kinan maksud. Benna menelan ludah karena amat gugup dengan pertanyaan itu. Menatap kinan, menatap ku.  Kinan membalas dengan menatap lebih bingung dan bertanya kembali "Hanya teman belajar?"

Benna hanya mengangguk-anggguk memberi isyarat bahwa pernyataan itu benar. Aku menatap mukanya,  tampak Bete sejak pertanyaan pertama tadi. Karena sebal dengn pertanyaan-pertanyaan Benna menarik nafas panjang. Lalu menyenderkan bahunya ditembok dan menyilangkan kedua tangannya.

"Sampai kapanpun aku tidak akan pernah jatuh cinta lagi padanya. Aku tidak boleh menyukainya." ucap Benna dengan pelan.

"Haha...Aku tidak mengerti maksudmu, Mas." Kinan tertawa,  lalu berdiri memindahkan piring kotor yang ada dimeja, meletakkannya di baskom cucian.

"Kinan aku bukan anak-anak lagi. Menjalin hubungan seperti itu hanya akan membuang-buang waktuku. Bahkan aku tidak pernah berharap agar seseorang memahamiku."

"Tapi dengan begitu kamu akan terjebak didunia penuh kesepian. Apa masalahnya kamu tidak laku?" ledeknya. Kinan tersenyum puas.

Benna berfikir sebentar. Melepas kacamata sebab berembun, lalu mengelapnya dengan bajunya. "Masih ada yang ingin kamu bicarakan?"

Kinan menggelengkan kepala. Mereka berdua diam, dan senyap datang kembali.

***

Malam ini hujan mengamuk. Mengguyur bumi menciptakan aroma tanah kering yang menguap. Aku bergegas menarik selimut menutup seluruh badanku dan memeluk erat guling kesayangan. Petir mulai datang menciptakan suara gemuruh, aku pura-pura tidur. Mengalihkan ketakutan dengan pelukan.

Kreeekkk... Suara decit pintu kamar dibuka lalu dilanjutkan pertanyaan. "Me, udah tidur?" Aku menggeliat, merentangkan kedua tangan. Membuka mata pelan-pelan. Membuka selimut. Aku tahu, Ayah memastikan kondisiku. Jelas, sebab Ayah paham aku sangat takut dengan hujan. Ayah sudah duduk disampingku. Malam ini aku tidur ditemani Ayah Ibu.

Ibu mendekati jendela, ibu sangat teliti dalam hal apapun. Apa yang akan ibu lakukan malam ini. Pengecekan selalu terjadi kapan saja, dan sialnya aku lupa akan jendela itu. Akhirnya ibu bertanya kepadaku. "Ini jendelanya kenapa cuma ditutup ngga dikunci, Me?"

Aku diam. Tidak ada yang aku katakan kepada ibu. Dengan kata lain aku menyadari bahwa aku salah. Dan aku harus lebih teliti lagi kedepannya.

"Aku bobok ditengah." kataku dengan ragu-ragu. Aku tahu tidak akan ada jawaban untuk itu. Ayah dan ibu sudah paham akan rasa takutku. Aku menunggu jawabannya. Tidak ada reaksi? Aku harus tidur dipojok kali ini? Aku rasa Ibu sedang marah gara-gara aku tidak mengunci jendela.

Kami tidur bersama, berbaring dikasur empuk dan "Nah." benar aku tidur dipojok. Ibu benar marah dan menghukumku malam ini.

"Kamu kalau sudah besar mau jadi apa?" Sebuah pertanyaan mendarat kepadaku. Pertanyaan itu sulit untukku. Aku sendiri tidak tahu apa yang aku inginkan dan apa yang akan aku lakukan di hari besok. Yang aku tahu  hanya ada aliran arus kehidupan saja. Menjalani sesuai arus saja tanpa berfikir ingin jadi apa.

"Aku tidak tahu mau jadi apa."

"Anak-anak seusiamu biasanya kerap bercerita cita-citanya."

"Mungkin ingin menjadi dandelion." sungguh pemikiran yang aneh.

"Kamu mau jadi bunga? Masa depanmu, Me."

"Masa depanku? aku tidak yakin dengan itu Ayah."

"Tidak yakin? Kenapa? Sepertinya kamu ragu dengan kemampuanmu."

"Aku mau kehidupan yang baik untuk ku. Tetap hidup sehat, apa yang aku inginkan semuanya tercapai. Memiliki pikiran yang tenang. hati yang bungah penuh kebahagiaan. Mungkin hanya seperti itu, Ayah?" kedengarannya sangat tinggi kemauanku diusia sekarang seharunya memikirkan mau jadi apa dokter? Polwan? Guru? Penulis? Tapi nyatanya. Itu memang keinginanku.

"Apa aku boleh bertanya?" sambungku.

"Tentu sebanyak-banyaknya, Me. Mau tanya apa?"

"Kalau ibu pengennya seperti apa?"

Dengan tegas ibu menjawab "Ibu ingin menjadi ibu yang kuat, ibu yang baik kepada anak-anak. Ibu yang tangguh, serta ibu yang penyabar. Ibu hanya ingin melihat anak-anak tumbuh dan berkembang dengan lukisan raut senyum kebahagiaan mereka. Ibu akan menjadi rumah ternyaman untuk anak-anak."

"Sungguh menarik ibu. Aku kelak juga akan seperti ibu."

"Lalu bagaimana dengan Ayah?" tanyaku kepada Ayah.

"Ayah memang tidak mengandung anak-anak tapi ayah selalu menyimpan anak-anak didalam hati ayah."

"Sepertinya aku tidak asing dengan kalimat itu. Apa aku pernah membaca kalimat itu dibuku?"

"Iyaa. Dan ada satu hal lagi yang ingin Ayah katakan."

"Apa itu?"

"Ayah ingin menjadi ayah yang selalu dirindukan anak-anak."

"Apa lagi yang Ayah inginkan? Aku ingin mengetahui semuanya. Aku juga ingin menjadi seperti Ayah." protesku kepada Ayah. Ayah memang jarang sekali mau berbicara panjang. Aku rasa ini menjadi tantangan ayah yang cukup berat. "Ayo, katakan Ayah. Apa yang ayah inginkan lagi?" sambungku dengan semangat.

"Ayah ingin menjadikan diri Ayah sebagai sandaran pertama anak-anak. Ayah adalah perisai bagi anak-anak, yang siap melindungi kalian semua. Ayah akan selalu ada untuk anak-anak."

Aku masih ingat bahwa ibu dulu juga selalu berpesan pada kami "Tersenyumlah ketika ayahmu pulang kerja."

"Kenapa aku harus tersenyum, Ibu?."

"Kamu harus tahu bahwa diluar sana ayahmu bergulat dengan kerasnya dunia demi kita semua."

Untuk semestaku yang semakin tua dan renta; Kepada Ayah dan Ibuku,  aku sangat mencintai kalian. Banyak pelajaran yang dapat aku ambil dari kalian. Setiap ucapan selalu aku ingat, setiap tindakan selalu aku tiru. Ayah dan Ibulah panutanku. Setiap waktu aku selalu merindukan wajah yang terlukis dengan lengkungan bulan sabit penuh kebahagiaan. Aku bertanya kepada bintang di langit. Siapa yang bersinar terang di duniaku?

Ada kebiasaan bodoh yang sering aku lakukan, melihat perut Ayah dan Ibu ketika tidur. Aku hanya memastikan mereka masih bernafas. Aku takut jika yang aku lihat perut Ayah dan Ibu tidak bergerak. Akan menjadi momok yang paling aku takuti, tapi semua itu pasti akan terjadi.

Lanjut, untuk Ayah sama ibu. Kalian harus sehat ya. Waktu kita cuma sebentar, kita butuh banyak momen untuk merangkai sebuah cerita panjang yang penuh dengan kebahagiaan.

Banyak bab yang harus kita penuhi dengan momen terkesan, tapi kata ayah; momen terkesan tidak selalu berkaitan dengan hal-hal yang menyenangkan, bisa juga dari hal yang menjengkelkan, melelahkan, atau menyedihkan. Bukankah seperti itu Ayah? Menjadikan setiap babnya menjadi pendukung dan pelajaran untuk memunculkan bab berikutnya.

Dan, terkadang apa yang kita anggap kecil itu ternyata menjadi hal besar bagi orang lain. Dan hal kecil mereka bisa juga menjadi hal besar dan bermakna bagi kita ini. Mungkin orang-orang menganggap bahwa momen terkesan berada pada hal yang penuh dengan kemewahan dan keindahan.  Namun, ternyata dari hal sederhana dengan taburan cinta dan kasih sayang dari hati keluarga akan menciptakan kebahagiaan yang tiada tara.

Bersambung...

Sepasang Dandelion //On-goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang