3. SEMESTA TUA RENTA

151 13 0
                                    

Selamat membaca...

"Kapan aku punya waktu luang buat menulis, menceritakan diriku sendiri." kata Benna kepada dirinya sendiri. Mendengkus seraya jari tangannya mengetuk-ketuk meja. Menatap kertas-kertas yang berjudul TUGAS RUMAH, mengantre menumpuk dihadapannya siap untuk diselesaikan. "Sepertinya aku akan bergadang lagi hari ini." gerutunya tanpa henti. Dia menatap keatas, menyenderkan bahunya di kursi yang ada dibelakangnya. Istirahat sejenak mengembalikan moodnya. Menatap tajam kearah langit-langit rumah. Mas Benna melamun. Apa dia tengah menatap masa depannya? Hembusan nafasnya terdengar berat.

Mendengar itu, reflek aku melirik kearahnya. Dia yang duduk di sampingku. Aku terasa terganggu dengan omelan-omelan itu. Tanganku yang tadinya mengosokkan krayon diatas buku gambar, terhenti. Terdiam, memastikan kondisi Mas Benna dengan tatapan penuh sejuta pertanyaan. Aku tidak tahu tujuan menulis yang dikatakan Mas Benna. Untuk apa menuliskan dirinya sendiri? Kenapa harus menulis sedangkan diri sendiri saja sudah tahu isinya. 

Karena dia tahu gerak-gerikku yang meperhatikannya, Mas Benna menegakkan duduknya, menatapku dan berkata dengan suara kasarnya. "Ada Masalah?!"

Aku terkejut. Spontan, terdiam beberapa saat. Membeku dan terus menatap dengan mata yang terbuka lebar.  Apa salahku? Batinku. Aku mencerna kata-kata yang diucapkannya, apa itu sebuah pertanyaan atau sebuah perlawanan?

"Sudah kubilang. Kamu tidak bisa melakukannya." Mbak Kinan yang memiliki kebiasaan memotong pembicaraan. Hal itu membuat kesal Benna. Menarik nafas panjang dan memberikan argumen-argumen kepada adik tengahnya. "Semua yang aku inginkan, tetap akan aku lakukan. Apapun resikonya, akan aku hadapi!" Mas Benna menyilangkan kedua tangan didepan dada memberi isyarat bahwa ia benar-benar kesal. Mas Benna memejamkan matanya sebentar lalu kembali fokus ke kertas yang sudah ada dihadapannya.

"Oh." Kinan hanya tersenyum tipis. Aku tidak berniat gabung dalam perdebatan itu, dengan santai aku melanjutkan pekerjaanku. Menggosok-gosokan krayon dengan hati-hati supaya hasilnya rapi. Kekacauan yang terjadi diruang tamu terhenti ketika ibu mengantarkan minuman hangat untuk Ayah kedepan.

Suara burung hantu semakin terdengar keras sejak matahari terbenam, jangkrik yang sedari tadi berbunyi tidak sedikitpun merasa lelah. Gambar ku sudah selesai. Waktunya aku menyiapkan buku-buku untuk jadwal pelajaran besok pagi. Memasukkan satu persatu peralatan sekolah kedalam tas kesayangan. Menata krayon seperti semula.

"Akhirnya selesai juga." kataku. Menyelesaikan pekerjaan rumah dengan cepat, membuat jam istirahat akan lebih panjang. Aku membalikkan badan, mataku tertuju dengan pria tua yang ada dikursi teras. Beliau adalah Ayah, dengan wajah yang semakin berubah. Dengan pipi yang penuh dengan kerutan, serta rambut yang mulai pudar. Tanda bahwa umur ayah yang semakin menua. Aku berdiri. Melangkahkan kaki menghampiri Ayah yang tengah ngopi.

Secangkir kopi hitam yang masih mengepul tergeletak di atas meja bundar. Aroma khasnya menjadi teman Ayah setiap malam. Jari telunjuk dan tengahnya setia mengapit gulungan tembakau lintingannya. Mengisap perlahan dan mengepulkan asap rokoknya dengan penuh ketenangan. Hidup Ayah penuh semangat. Tidak pernah menyerah ketika menghadapi hal baru. Bagiku Ayah sangatlah cerdas. Beliau tahu banyak hal,  ketika aku menanyakan tentang hidup beliau dengan percaya diri menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Banyak pengalaman yang udah Ayah dapatkan. Maka pengetahuan Ayah sangat luas.

"Kamu lelah?" tanyanya kepadaku. Aku hanya terdiam tanpa jawaban. Duduk di depan Ayah membawa boneka beruang yang setia ditangan kanan. Aku tidak membalas pertanyaannya.

"Mas sama Mbak mu masih belajar loh, Me. Kenapa kamu ngga belajar? Ini masih jam delapan." ucapan itu mengandung paradoks, Ayahlah yang selalu membuka obrolan kepada anak-anaknya.

Sepasang Dandelion //On-goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang