6. TIGA KATA DIMEJA MAKAN

42 8 0
                                    

Selamat Membaca...

"Sarapan... Sarapan...Me bangun..." teriakan heboh milik Benna.

"Aku panggil adikmu dulu. Nanti kita makan sama-sama."

Datangnya fajar diiringi suara ayam milik Ayah berkokok, kerasnya nyanyian ayam tetap tidak mampu membangunkan anak bungsu Admodjo yang tengah tertidur pulas. Teriakan yang berasal dari dapur tidak membuat Merra bergerak sama sekali. Udara dingin disini terasa menusuk tulang, memaksa siapa saja harus mengenakan jaket dan selimut tebal untuk membalut kehangatan. Dari subuh, kabut mulai menyelimuti alam namun akan hilang pada saat siang mulai datang. Apa hal ini sama juga seperti ditempat kalian?

Tok tok tok...
Suara ibu mengetuk pintu kamarku. Aku tidak mendengar ibu membuka pintu "Cepat bangunlah." tiba-tiba Ibu menyingkap selimut berwarna abu-abu mencoba membangunkan putri kesayangannya, lalu mengajaknya pergi sarapan. "Cepetan nduk, ditunggu Ayahmu."

Ibu membuka jendela, membiarkan udara segar masuk kedalam ruangan. Dingin. Rasanya malah dingin.

"Bukankah hari ini libur sekolah?" kataku dengan lirih karena rasa kantuk masih ada dimataku.

"Iya sekolahnya libur, Ibu masak ayam tepung kesukaanmu. Bangunlah." Sambungnya.

Aku tak kunjung bangkit dari tempat tidur. Aku meraih guling, membiarkan masuk kedalam dekapan kedua tanganku. "Aku tidak ingin melakukan apapun, aku hanya ingin menghilang." suara itu terdengar lirih sebab menahan sedih di dalam benaman guling.

Ibu duduk di sampingku, hanya diam sebab mendengar ucapanku. Air mata wanita tua mulai terlihat. Seorang ibu tidak pernah bisa dibohongi. Ibu tetap tahu seperti apa perasaan anak-anaknya, ibu selalu paham seperti apa hancurnya hati anaknya. Ayah dan Ibu sudah mengetahui jika aku mendapatkan perlakuan buruk di masyarakat.

"Merra, mari sarapan dulu." kata Ayah yang sudah berdiri di pintu kamarku.

"Iya nanti aku nyusul, Yah." Aku tidak bisa menolak ajakan Ayah. Entah sejak kapan Ayah berdiri didepan pintu kamar.

Sudah menjadi kebiasaan sebelum bangkit dari ranjang, aku menggeliat dulu. Energiku terasa terkuras. Cukup melelahkan setiap hari harus seperti Ini. Aku berjalan menuju kamar mandi. Membasuh muka, dan gosok gigi. Tidak perlu mandi, suhu disini sangat dingin. Jari tanganku sudah kaku, putih pucat sebab terkena air dingin.

Aku terlihat berantakan batin ku.

Bertambahnya hari semakin kacau, apa ini langkah awal aku akan gila. Pikiran negatif datang menghantui dan mencoba merasuki jiwaku. Cara bicaraku pun sudah rancu tidak jelas. Memakai baju daster pendek berwana Biru Laut memperlihatkan kulit putih, dengan rambut berantakan tidak merubah kecantikan. Menatap cermin didepan lalu menghela nafas panjang.

Pertanyaan-pertanyaan muncul di dalam kepala, kekhawatiran muncul tanpa aba-aba, bagaimana nasibku nanti? Bagaimana kehidupan berikutnya jika sudah tidak ada Ayah dan Ibu? Bagaimana aku bisa memenuhi kebutuhan diriku? Bekerja? Bekerja apa sedangkan umur ku masih terlalu muda. Apa keadilan akan berpihak pada diriku? Pemikiran seperti itu seharusnya tidak ada dibenakku. Diusiaku yang masih 6 tahun, seharusnya hanya memikirkan makan, belajar, bermain, tidur.

Aku mengatakan bahwa "Hancurnya masa depan sudah terlihat didepan mata. Aku tidak mampu kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mimpi-mimpiku telah hilang. Tidak ada masa depan untukku. Mengetahui kenyataan yang sebenarnya mambuatku sakit rasanya. "

***

Diruangan makan, ada Aku Merra, Ayahku yang bernama dengan Admodjo, Ibuku yaitu Lasmi, Kakak laki-laki bernama Benna dan kakak perempuanku bernama Kinan.

Aroma sayur asem kesukaan Ayah dan ayam goreng dimeja mendobrak penciuman. Namun, semuanya teralihkan dan fokus memperhatikan ku, sebab sudah beberapa menit aku hanya menatap makanan dihadapanku. Entah kenapa rasanya aku tidak merasa lapar sedikitpun. Perutku terasa penuh saja.

Tidak ada percakapan sama sekali, diruangan makan terasa sunyi. Ayah memecahkan keheningan yang ada diruang makan dengan melontarkan pertanyaan kepada ku. Lamunanku pecah begitu saja.

"Nduk, Apa makanannya tidak enak?"

"Aku sudah kenyang, Yah."

"Kalo ngga mau, aku makan saja." celetup mas Benna. Dihadapan Ayah tanpa rasa takut, mas Benna langsung mengambil ayam goreng yang ada di piring ku. Aku mengeryitkan wajahku melihat ayam goreng diambilnya. Mas Benna segera menggigit dengan gigi taringnya. Perilaku mas Benna dibalas dengan tatapan tajam Ayah.

Ayah merasa bahwa dirinya tidak pernah mengajari anak-anaknya berperilaku seperti itu. Ayah sangat tidak senang, matanya yang sudah memerah menatap anak laki-lakinya langsung membentaknya, spontan tangannya yang besar dengan kuat menggebrak meja.

BRAKK...

"BEN, JAGA SIKAPMU!"

Kami semua kaget sebab Ayah yang tak pernah marah, kali ini Ayah meninggikan suaranya. Mas Benna tampak ketakutan, matanya sudah mulai memerah sebab air mata tidak dapat lagi ia bendung. Duduknya yang makin membungkuk terlihat jelas bahwa Mas Benna merasa sedang ketakutan.

"Ayah. Tidak perlu seperti itu." kata Ibu, mencoba mengembalikan suasana sarapan hari ini. "Masih ada ayam dilemari, tunggu sebentar akan aku ambilkan. Untuk Benna jaga perilakumu, Ayah dan Ibu tidak pernah mengajarimu seperti itu." Ibu bangkit dari kursinya, melangkahkan kaki dengan cepat menuju lemari. Mengambil piring yang sudah tersedia empat potong ayam goreng lalu meletakkannya di atas meja makan.

"Kamu terlalu memanjakan anak-anak." Ayah mengerutkan dahinya menahan emosinya.

"Maafkan aku. Aku sudah membuat kegaduhan."kata Mas Benna.

"Ayah, jangan marahi Mas. Dia ngga salah. Aku yang salah. Maafkan aku." kataku.

"Tidak sama sekali, ini bukan kesalahanmu. Cepat makanlah." jawab ibu, sambil meletakkan satu potong ayam goreng dipiringku.

"Terimakasih, Bu. "

"Ayah minta maaf sudah membuat kalian takut."

Kami semua menganggukkan kepala. Yang berarti bahwa kami juga memaafkan Ayah.

"Kinan tolong ambilkan sayur asem buat Ayah lagi." Perintah Ayah kepada Kak Kinan.

"Iya Yah. Siap."

Selain kasih dan sayang, Ayah juga sering memberikan nasehat berharga untuk kami. Memberikan dorongan positif untuk menumbuhkan kepercayaan dan membentuk karakter anak-anak supaya jauh lebih baik.

Ayah berpesan kepada kami dengan tiga kata; Terimakasih, tolong, dan maaf.

Ayah mengajarkan kami untuk mengucapkan; 'Terimakasih' kepada orang lain ketika kita mendapatkan barang atau materi dari orang lain. Bisa juga mendapatkan pertolongan dari orang lain. Mengucapkan 'Terimakasih' kepada diri sendiri sebab sudah berjuang dan sebagai tanda kasih sayang kepada diri sendiri. Ayah juga mengajarkan kepada anak-anak agar mengapresiasi pencapaian diri kita sendiri. Hal itu membiasakan kita bersyukur dalam kondisi apapun dan selalu berdamai dengan diri sendiri.

mengucapkan 'tolong' kepada orang lain sebab kita makhluk sosial yang tidak bisa lepas dengan bantuan orang lain. Kita juga bisa lebih sadar bahwa kita memiliki keterbatasan diri sendiri. Sadar akan kelemahan diri sendiri. Sadar akan apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak dapat kita dilakukan.

Mengucapkan 'minta maaf' kepada orang lain karena ayah mengajarkan kita menjadi anak yang berani dalam mengakui kesalahan yang dilakukan dalam hal apapun. Dan Ayah juga mengajarkan agar kami mengucapkan 'minta maaf' kepada diri sendiri entah itu sebab kita gagal dalam segala hal, melukai diri sendiri entah itu membandingkan hidup, memendam apa-apa sendiri, mementingkan perasaan orang lain, memaksakan diri diluar kemampuan diri sendiri.

Mungkin itu hanya kalimat biasa atau sederhana tapi sebenarnya sangat bermakna besar dalam hidup. Melatih diri untuk menghargai orang lain dan menghargai diri sendiri.

Bersambung...

Sepasang Dandelion //On-goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang