5. LUKISAN RUMAH CEMARA

75 8 0
                                    

Selamat membaca...

Aku datang digedung seni jauh dari rumah. Tepatnya di tengah kota. Membawa perlatan lukis, menenteng tas ransel yang penuh dengan cat-cat lukis. Aku mengikuti ajang perlombaan pertama kalinya. Ditemani Ayah, berjalan tegak dengan gagah dan juga lengkungan senyuman diwajah. Kami memasuki gerbang melangkah maju menuju gedung tempat lomba hari ini. Aku sudah cukup banyak mendengar cerita kehebatan peserta-peserta dari sekolah sebelah.

"Merra, Apa kamu ingat. Dulu kamu pernah datang kesini bersama Ibu dan kakakmu?" pertanyaan itu mengagetkanku.

"Aku tidak ingat, Ayah."jawabku. Kedengarannya aku mulai terlihat gelisah. Entah kenapa aku tidak bisa berfikir dengan baik saat ini atau karena luka yang ada dikepalaku ini. Aku memiringkan kepala sebab terasa berat. Aku tersenyum, menghela nafas. Perasaanku mulai tidak enak. Seandainya bisa kabur, aku akan berlari bersembunyi. Tapi-bagaimana dengan harapan Ayah dan Ibu melihat aku pulang membawa piala penghargaan? Aku tidak akan mengecewakannya.

"Ada yang ingin kamu katakan, Merra?" tanya ayah.

Aku rasa tidak masalah jika aku bilang ke Ayah kalau aku sedang gelisah. "Ayah." panggilku dengan pelan. Aku tidak bisa melakukannya. Ayah akan khawatir jika tahu. Seperti biasa suara yang bergetar menandakan rasa takut menyerangku, telapak tanganku sudah berkeringat. Langkah Ayah terhenti dan melihat kearahku, tanpa sadar aku terus meremas tanganku sendiri. Disini sudah ramai anak-anak seusiaku. Bersama orang tuanya, wajah mereka begitu jelas tampak bahagia. Mataku mulai menelusuri tempat ini.

"Apa ada barang yang ketinggalan, Merra?"

"Tidak ada, Ayah." jawabku dengan cepat.

Sepertinya keberanianku yang ketinggalan dirumah Ayah. Aku sangat takut. Bagaimana jika aku gagal? Kalian pasti akan kecewa.

Langkah kami terhenti didepan ruangan yang lumayan besar. "Jangan takut. Nanti Ayah duduk didepan sini." ujar Ayah mercoba menenangkanku.

Mataku tertuju pada Ayah tengah menepuk-nepuk bangku disebelahnya, mengisaratkan agar aku segera duduk disampingnya. Aku menghampiri Ayah lalu duduk.

"Kalo ikut masuk ngga boleh ya, Yah?" protesku.

"Ngga boleh sayang. Kamu kan anak pemberani, ngga boleh takut ya."

"Iya, Yah."

Ayah memperhatikanku. Lalu bertanya, "Kamu jadi melukis rumah kita?"

"Iyaa jadi, Ayah. Rumah Cemara."

"Rumah penuh kebahagiaan cinta dan kasih sayang keluarga. Maksudmu seperti itu?"

"Apa ide ku bagus, Ayah?" tanyaku balik.

Ayah tercekat mendengar ucapan ku, "Benar-benar bagus, Merra. Kamu sungguh pintar."

"Aku tidak se-" jawabku terputus sebab pria memotong pembicaraanku.

"Siapa anak ini? Anak bungsumu?" tanya pria tua yang sebelumya tidak pernah aku lihat, pria yang tiba-tiba sudah ada disampingku. Dia adalah pria tua yang tidak aku kenal. Kakinya yang panjang dan lengan berotot membuatku takut. Tidak ada permisi sama sekali, bukankah tidak sopan jika memotomg pembicaraan orang lain?

"Kamu tahu semuanya, Kenapa kamu menanyakan hal itu?"

"Hanya memastikan saja."

"Apa kamu jadi juri disini?" tanya balik Ayah.

Ayah mengenalnya?Siapa dia? Batinku.

"Bukan hanya pengawas lomba nanti." "Bukankah anak bungsumu sudah besar? Bukankah ini cucumu yang kamu angkat sebagai anakmu?" sambungnya.

Sepasang Dandelion //On-goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang