4. SIAPA YANG SALAH?

111 8 0
                                    

Selamat membaca...

Menjelang siang ini memang indah. Awan putih berterbangan dilangit biru cerah, matahari bersinar dengan garang. Burung - burung menari mengikuti arah angin menghembus tanpa tujuan. Aku tidak sabar pulang kerumah dan melihat kejutan indah untukku. Sebuah kue coklat penuh buah stroberry diatasnya atau nasi kuning dengan bunga wortel ditebingnya.

Dimana Ayah? Batinku. Dari kejauhan mataku menyusuri kearah taman. Biasanya Ayah sudah menungguku sebelum aku keluar kelas. Aku mendengus pelan dan mengatakan 'Tidak ada Ayah disini.'

Hari ini adalah hari ulang tahunku, yang seharusnya aku sudah pulang meniup lilin bersama keluarga, kini setia menunggu Ayah di depan gedung TK.

"Apa kalian sudah mendengar kabar bahwa Merra adalah anak angkat?" Aku mendengar jelas pertanyaan yang dilontarkan Ibu berambut pendek. Tapi aku tidak paham apa yang dia maksud.

Anak angkat? Apa itu anak angkat? Aku tidak paham pembahasan mereka. Apa anak angkat sebuah istilah anak yang sangat membangakan atau anak yang buruk. Aku tidak paham kata 'anak angkat'. Aku harus mengingat-ingat kata itu. Sesampai aku dirumah, aku perlu menanyakan hal ini kepada Ibuku. Anak angkat menjadi kata baru yang aku dapat dan harus aku pelajari lebih dalam. Mereka menatapku dengan mulut yang terbuka sedikit sebab menahan tawa. Apa ada yang salah denganku? Apa rambut kucir dua dengan pita kupu-kupu menjadi objek lelucon mereka? Tapi ini membuatku terlihat cantik kata Ayahku.

"Merra, Dimana Ayahmu?" Suara itu mengejutkanku, aku membalikkan badan ternyata Ibu Guru yang bertanya kepadaku.

"Ayah sebentar lagi datang menjemputku."

"Apa perlu ibu antar saja?"

"Tidak perlu, Ayah pasti datang menjemputku."

"Besok kamu akan lomba, jaga kondisimu baik-baik ya. Semoga kamu pulang membawa piala."

"Terima kasih, Bu guru." aku tidak pandai merespon perkataan orang lain bahkan yang ada hanya ada rasa gemetar dibadanku. Bisa dibilang cara bicaraku sangatlah buruk, makanya aku perlu bersosialisai lebih banyak supaya ada perkembangan dalam cara bicaraku.

"Kamu jangan pergi dari sini kalau belum dijemput Ayahmu. Ibu mau beres-beres dulu." perintahnya. Tangan lembut Ibu Guru mengusap-usap rambutku dengan lembut. Apa itu tanda kasih sayangnya kepadaku?

"Merra, panggil ibu guru kalau kamu butuh bantuan." sambungnya.

Aku tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk karena aku paham apa yang dikatakan Bu Guru. Sepertinya Ibu Guru juga paham bahasa isyarat dariku. Dan kembali memasuki kelas menyelesaikan pekerjaannya.

Sudah cukup lama aku menunggu Ayah disini. Duduk di bangku depan kelas dengan mengayunkan kaki ku sebab belum sampai ke lantai. Tangan kanan kecilku yang kuat memegangi tas krayon dengan gambar dunia lautan. Hadiah dari Ayah yang sudah diberikan seminggu yang lalu. Ayah memang tau segalanya tentangku. Tahu apa yang aku suka dan apa yang aku benci. Tas ransel berat yang hanya ada alat-alat lukis dan buku bacaan yang di belikan Ibu selalu aku bawa. Banyak kata baru yang aku pelajari dari buku itu. Sebenarnya aku masih belajar membaca, bahkan masih aku eja tiap huruf. Tapi kata Ibu, kalau aku terbiasa membuka dan membaca bukunya itu bisa memperbaiki cara bicaraku yang buruk ini.

Satu persatu temanku meninggalkan sekolahan bersama Ayah Ibu mereka, dan sekarang tersisa hanya aku saja. Diluar gerbang banyak kendaraan yang terus melintas. Dari sini aku menghitungnya hingga kepalaku terasa pusing. Aku tidak dapat menghitung semua mobil yang sudah melintas. Bodoh. Aku hanya paham soal warna-warna. Aku harus meminta Ayah mengajariku.
Aku tidak pernah belajar berhitung. Apalagi menyanyi, yang aku tahu hanya lagu pelangi dan kasih Ibu.

Sepasang Dandelion //On-goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang