Omega Marah

491 44 8
                                    

Big Boy. 3

***

“Alpha?!”

Dari halaman belakang sampai ruang tamu kediaman mereka, Theodore lari terpogoh-pogoh. Siapa yang tidak panik kalau Gabriel meneriakinya begitu? Dengan membawa pemotong rumput, boots yang penuh lumpur, Theodore mendapati pemandangan Omeganya tengah berdiri menantang dengan nafas terengah-engah.

Cepat-cepat dia tanggalkan benda tajam yang dibawanya. Dan alangkah terkejutnya Theodore ketika Gabriel menarik kerah bajunya dengan tiba-tiba. Menciumnya tepat di bibir dengan ritme yang tergesa-gesa.

“Pelan-pelan Sunshine. Ada apa?”

Feromon Gabriel tidak seperti biasanya yang manis dan lembut, kali ini sedikit diiringi bau terbakar. Omeganya tengah marah.

Gabriel memeluk Theodore, terisak pada bahu laki-laki itu. Tak lama Sebastian datang dengan keadaan kacau. Setelan jasnya kusut pada beberapa tempat.

“Dengar, ini gak seperti yang kamu pikirkan.”

Theo diam saja, dia benar-bena tidak punya kecurigaan khusus pada Sebastian dan Gabriel yang tengah menangis.

Baik Sebastian atau Theodore sama-sama kacau, dalam penampilan atau emosional.

Theodore menuntun Gabriel agar duduk pada sofa, sementara dia melepaskan pakaian berkebunnya, hal yang sama dilakukan oleh Sebastian. Laki-laki itu lebih dulu berjalan ke dapur demi segelas air.

“Dia cabul.” Kata Gabriel kemudian, menunjuk langsung kepada Sebastian.

“Dia suami mu Sunshine. Tidak ada istilah cabul.”

“Tapi Sebastian mencium ku tanpa izin.”

“Dan kamu baru saja mencium ku tanpa izin.”

Sebastian melipat bibirnya, berusaha menahan tawa yang mungkin akan memperkeruh suasana. Laki-laki itu meletakkan segelas air pada meja dengan tangan gemetar. Dia merasa situasi saat ini sangat konyol.

“Jadi suami mu hanya Theo dan aku bukan?” Sebastian kemudian angkat bicara. Nada bicaranya datar dan memang dimaksudkan untuk gurauan. Tapi siapa yang tahu kalau mata Gabriel kembali berkaca-kaca.

“Maafkan aku Alpha ....”

Gabriel merangkak, mendekati Sebastian yang duduk di ujung sofa panjang, mendusalkan kepalanya selayaknya anak kecil.

Usai dengan drama Gabriel dan air matanya. Sebastian dan Theodore memutuskan untuk duduk guna membahas hal-hal yang dilewatkan oleh Theodore sementara Sebastian mengantar Gabriel keluar untuk mencari perlengkapan sekolahnya.

“Menurutku saja, mungkin dia sensitif. Sumpah aku hanya menciumnya di pipi karena ... ya kau tahu, Gabriel begitu lucu.” Sebastian mengusap wajahnya dengan kasar dengan semburat merah pada kedua pipi laki-laki itu.

“.... Tapi dia malah marah, itu juga kulakukan karena tidak sedikit yang meliriknya. Kapan Gaby sadar kalau dia begitu manis, cantik ....”

Sebastian kemudian menyadari kalau lebih mudah untuk memuji Gabriel di depan orangnya sendiri, ketimbang membanggakannya di depan suami Gabriel yang lain.

“Lalu pakaian mu?”

Tubuh Sebastian merosot. “Itu asisten ku. Dia sudah kuanggap sebagai saudara perempuan ku sendiri. Ketika Gaby datang ke kantor siang ini dia melihat asisten ku sedang membenarkan dasi. Ya ... kau tahu kelanjutannya.”

Pantas Sebastian pulang tanpa dasi, karena Dasinya berada ditangan Gabriel. Latar belakang kehidupan Gabriel adalah anak manja dan cengeng, terlebih dia adalah anak tunggal, orang tuanya pasti melakukan apapun untuk putra mereka. Gabriel tumbuh dengan harga diri yang tinggi, maka ketika sosok lain menyentuh Alphanya, itu membuat Gabriel marah.

Theodore terkekeh. Siapa yang tahu kalau kehidupan pernikahan mereka begitu banyak permasalahan, baru tiga bulan berjalan.

“Siapa kira-kira yang akan mundur lebih dulu?”

Sebastian mengangkat bahunya, “Mungkin aku, keluarga ku terus mendesak keturunan, dan rasanya gak mungkin memintanya dalam waktu dekat. Mereka sering menawarkan untuk selir.”

Kehidupan kerajaan memang rumit. Karena tujuan awal Sebastian menikah adalah urusan keturunan, sementara Gabriel masih harus meneruskan sekolahnya setidaknya 3 atau 4 tahun.

Bohong kalau Theodore tidak senang mendengarnya, tapi dia juga yang paling tahu kalau Gabriel punya rasa yang setara untuk mereka. Tidak ada yang lebih atau kurang. Makanya mereka hampir tidak pernah mengeluh dan iri. Mungkin pernah, namun tidak terucap saja.

***


Big BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang