Theodore

244 29 9
                                    

Theodore dari sudut pandang Gabriel.

***

Menurut Gabriel, Theo adalah pribadi yang susah ditebak. Sikapnya cenderung tenang, walau seringkali mulutnya berucap tanpa berfikir. Itu adalah Theo.

Pertama kali mereka bertemu itu saat Gabriel gak sengaja menumpahkan kopi pada Theo.

Iya, Gabriel memang bodoh saat itu.

Dia hampir menangis saking takutnya pada Theo.

Theodore itu tipikal orang yang gak sungkan menunjukkan ekspresinya.

Jadi saat Gabriel gak sengaja menumpahkan kopi pada kemeja putih super mulus milik Theodore, saat itu juga Gabriel pikir itulah akhir hidupnya.

Ya masalahnya laki-laki itu bukannya mengumpat atau semacamnya tapi cuma diam dan menatap ke arah Gabriel sambil tangannya membersihkan noda kopi dengan kasar meski tahu nodanya tidak akan bersih hanya dengan selembar sapu tangan. Tindakan itu makin membuat Gabriel ciut.

Gabriel yakin hari itu adalah hari paling penting untuk Theodore, dari cara berpakaiannya yang sangat rapi.

Kalau gak salah ingat juga, Gabriel ingat rambutnya disingkap rapi ke belakang. Dan disampingnya tergeletak bucket bunga, gak luput dari percikan kopi.

Andai Gabriel gak menumpahkan kopi, mungkin dia bisa naksir Theodore saat itu juga.

Sebetulnya Gabriel juga bingung kenapa laki-laki itu tiba-tiba mengajaknya menikah setelah melemparinya dengan pandangan membunuh karena segelas kopi.

Gabriel terbata-bata menelepon sopirnya, meminta untuk dibelikan kemeja baru untuk Theo, namun laki-laki itu lebih dulu mengambil ponselnya dan mengatakan untuk segera menjemput Gabriel.

Theo itu seram, kalau tidak sedang melihatnya. Seperti ada dua jiwa di dalam satu tubuh.

Omong-omong, Gabriel gak tahu pasti apa pekerjaan suaminya itu.

Gabriel pikir Theo itu seorang Desainer Baju, laki-laki itu punya selera dalam berpakaian. Sering kali yang memilihkan pakaian Gabriel ya Theo sendiri.

Lalu dugaan kedua, mungkin Theo bekerja sebagai Desainer Interior. Seluruh tata ruang rumah yang mereka huni itu hasil ide Theo. Bahkan Sebastian saja terkesan karena ruang kerjanya nyaman digunakan.

Tapi terkadang Gabriel pikir mungkin Theo seorang Chef juga.

Theo itu figur laki-laki yang sangat sempurna untuk punya pasangan Omega manja seperti dia. Dia pintar dan bisa diandalkan dalam segala hal. Punya selera yang bagus, Theo juga amat penyayang.

Satu hari Gabriel pernah pertanya pada Theo.

"Kenapa Theo mau menikah sama aku?"

Tapi laki-laki itu cuma menatapnya sambil tersenyum, malah mencubit pipinya.

"Kenapa sih?! Jawab dong."

Theodore mendengus, sebelum dia menjawab, "Ya memangnya kenapa?"

"Hey Theo! Gak ingat kah kamu hampir bunuh aku?"

"Kapan?!"

"Waktu itu! Aku kan cuma gak sengaja menumpahkan kopi, tapi kamu seperti mau membunuh orang."

Membayangkan saja Gabriel merinding. Kejadiannya sudah sekitar setahun lalu tapi ekspresi wajah Theo tercetak jelas dalam ingatan Gabriel.

Theo merebahkan kepalanya, disambut dengan usapan pada rambutnya.

"Sebenarnya waktu itu aku memang mau membunuh mu sih-"

"TUH KAN!"

"Ya memangnya siapa yang gak mau membunuh orang kalau itu hari penting mu?"

Theo kemudian menceritakan tentang kejadian hari itu. Hari yang sangat penting baginya, karena Theo berniat menyatakan cintanya pada seorang Omega cantik yang selama ini dia suka.

"Sebelum kamu salah paham, ada baiknya dengarkan dulu sampai selesai." Kata Theo sebelum Gabriel sempat membuka mulutnya untuk menyuarakan protes.

"Aku sudah rapi dengan cincin dan buket bunga, tapi ada anak SMA yang lari-larian dan menumpahkan kopi ke padaku."

Theo bercerita, usai kejadian kopi itu, dia kembali pada rencana awal, dengan penampilan seadanya Theo mengejar waktu hanya untuk melihat Omega yang dia sukai itu berciuman dengan orang lain. Sialnya itu teman dekatnya sendiri.

"Kasihannya kamu ... ."

Theo mengangkat bahunya, "Mungkin memang takdirnya,"

"Hmm ... tapi Theo belum jawab pertanyaan ku."

Theodore terkekeh, "Baiklah, baiklah."

Theo kemudian melanjutkan ceritanya, masa dimana dia begitu terpuruk dan hampir meninggalkan seluruh pekerjaannya untuk menangisi seorang Omega. Dengan sikap tidak profesionalnya, Theodore akhirnya dikirim untuk dinas ke luar kota, sekalian laki-laki itu membuka pikiran dan mencari suasana baru.

Disitulah Theo melihat Gabriel untuk kedua kalinya.

Gabriel yang tengah merengek pada ibunya, meminta diberi izin untuk pulang terlambat sebab dia mau menghadiri pesta ulang tahun kawannya.

Gabriel yang masih mengenakan seragam merengek seperti anak kecil, di depan Theodore, ditengah percakapan penting.

Mungkin saat itu Gabriel gak menyadari kehadiran Theodore, dan mungkin juga memang sudah tabiatnya bertingkah seperti itu.

Ibu Gabriel menyadari ketertarikan Theodore, menawarkan kepadanya, apakah dia mau menjadi pendamping Gabriel di masa mendatang.

Theo jelas sangsi, mana mau dia menikahi omega manja seperti Gabriel. Ya setidaknya begitu awal pikirnya. Tapi ucapan Ibu Gabriel begitu serius, sampai-sampai Theo sungkan menolak.

Dia mulai belajar hidup mandiri, meski nantinya dia pikir menikahi Gabriel hanya karena keterpaksaan, namanya Theo serius dalam usahanya. Dan lihat sekarang, Theo bahkan gak sanggup mengalihkan pandang kalau Gabriel di depannya.

Sudah kelewat bucin.

"Aku gak tahu kalau mama mau menjual ku."

"Mungkin mereka lelah sama sikap mu itu. Sudah 17 tahun tapi masih merengek."

"Enak saja!?"

Theodore mengusap pucuk kepala Gabriel, "Anak manja ini nantinya akan dipanggil Ayah, ya?" Matanya gak lepas menatap Gabriel. "Kamu kok sudah besar saja."

"Aku kan dari dulu besar??"

"Iya, iya."

***

Gomen, ini isinya bacot doang, besok besok gua ulangi

Selamat Hari Kemerdekaan buat lu semua

Big BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang