08

29 3 0
                                    

"Lo, rapat osis aja."

Thalita menekuk wajahnya, saat mendengar ucapan varo.

"Emang Lo mau kemana si ro? Tawuran ya?"

Thalita menyipitkan matanya, menatap ke arah varo. Tapi, tepat setelah Thalita berbicara seperti itu, varo malah tertawa keras.

"Pikiran Lo, negatif mulu sama gue,"

"Ngga, gue ngga bakal tauran. Gue mau main basket." Ucap varo, mengangguk sambil tersenyum. Berusaha meyakinkan Thalita.

Thalita menghela nafas. "Yaudah, gue bakal ikut rapat, tapi_"

Thalita mendekatkan mukanya tepat di depan muka varo. "Kalo Lo sampe tawuran, abis Lo sama gue."

Varo tersenyum, lalu menoyor jidat Thalita agar menjauh dari mukanya. Thalita hanya bisa meng'aduh' sambil memegang jidat.

"Lo lebay banget si. Udah sono rapat! Gue mau latihan."

Thalita mendengus kesal. Dia berjalan mundur, sambil terus melihat ke arah varo. Lalu, dia mengangkat jemari tengah dan telunjuk, dia arahkan ke matanya, lalu beralih ke arah varo. Seperti ingin mencolok dalam-dalam mata varo, kalau lelaki itu sampai buat masalah dengannya.

Varo hanya menggelengkan kepalanya, melihat tingkah bocah ketua osis itu.

Varo benar-benar tidak menyangka, bahwa cewe yang dekat dengannya sekarang, adalah cewe yang hampir bunuh diri di atap sekolah.

"Woy! Lo gila ya?"

Gadis yang berdiri di pinggir atap sekolah pun menoleh ke suara berat itu berasal. Gadis itu menangis, rambutnya kusut tidak terurus, lingkaran hitam besar berada di matanya. Di sampingnya, ada banyak sekali buku berserakan dimana-mana.

Dan banyak sekali teriakan histeris dari bawah sana. Murid beserta guru bersahutan memanggil nama gadis itu. Wajah mereka terlihat panik, melihat gadis itu berdiri di atas sana, dengan posisi kaki yang jika dilangkah kan satu pijakan lagi, dia akan terjatuh dari ketinggian gedung 4 lantai itu.

"Lo mau bunuh diri?"

"Kalo Lo mau bunuh diri, jangan disini. Bikin repot sekolah aja Lo!"

Teriakan varo di belakang, sama sekali tidak di gubris oleh gadis itu. Tatapannya masih melihat ke arah langit yang saat itu dalam keadaan menghitam.

Jemarinya mencengkram kuat rok pendek yang ia kenakan. Isakan itu terdengar lebih keras, saat mendengar semua orang memanggil namanya di bawah sana.

"Thalita! Turun! Apa yang kamu lakukan disana?"

"Tal turun tal!"

"Tal bahaya!"

"Sadar Thalita!"

Namun, seakan hatinya berubah menggelap. Dia bahkan tidak menghiraukan kecemasan semua orang. Telinganya seakan tuli, di pikirannya saat ini, hanya ingin ketenangan, dan ketenangan itu bisa dia dapatkan setelah dia mati.

Kepalanya seketika pening saat melihat ke bawah sana, dia benar-benar ada diambang kematian. Maut berada di kakinya, jika dia melangkah, maka dia akan pergi untuk selamanya, dan bisa merasakan ketenangan yang selama ini dia harapkan.

Gadis itu memejamkan mata, menghirup udara untuk terakhir kalinya, kedua tangannya dia angkat, layaknya seekor kupu-kupu yang akan terbang ke langit lepas.

Kaki yang gemetar itu, dia paksakan angkat sedikit demi sedikit. Suara teriakan itu semakin terdengar keras, nyaris membuat nya tuli.

Dan saat kaki itu maju ke depan dengan perlahan, saat itulah dia menganggap bahwa semuanya akan selesai.

Death for death Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang