Rupa Selaras

53 30 2
                                    

Jam dinding menunjukkan pukul 8 pagi. Ruangan serba putih-abu terasa senggang. Terdapat deretan meja dan kursi. Tempat berkumpulnya tenaga pendidik. Seorang guru menutup lembaran profil siswa baru di atas mejanya. Selesai sudah sesi screening. Senyum simpul muncul di permukaaan wajahnya. Sepasang mata menatap kagum manusia di hadapan. Seakan ingatan lamanya kembali terekam di dalam kepalanya. Gadis itu ikut tersenyum dengan pipi merah meroda.

  “Selamat datang di sekolah barumu, Egida Raline. Semoga hari-harimu di sini menyenangkan.” Begitulah ucap guru pria sembari menggapai sebuah kotak kecil di laci meja.

  “Ini kartu sekolahmu. Kamu bisa gunakan ini untuk daftar kehadiran dan membeli kebutuhanmu di lingkungan sekolah,” lanjutnya. Pak guru memberikan sebuah kartu berukuran 5 x 7 cm persegi.

  “Baik, Pak. Terima kasih,” sahut Raline menerima benda itu dengan kedua tangannya.

  “Ah, kau sungguhan mirip dengannya. Kau tahu Dionne? Dulu dia bersekolah di sini. Satu kelas denganku. Dia terkenal sekali. Jadi idola semua orang. Parasnya cantik, anggun, dia terlihat sempurna. Prestasinya membludak. Selain pintar, dia jago main biola. Terkadang dia juga ikut proyek ayahnya, seharian bisa di laboratorium,” jelas guru itu, mengenang masa SMA-nya.

Tiada henti guru itu menyama-nyamakan Raline dengan Dionne. Faktanya memang seperti itu. Tak ada seorangpun yang bisa menyangkal. Gadis berponi tipis itu lagi-lagi tersenyum, menunjukkan deretan giginya yang rapi. Sejak pindah ke Jakarta, tiada hentinya ia menerima komentar, ‘si gadis salinan Dionne’.  Jujur itu membuatnya muak. Tapi mau bagaimana lagi, ia tak bisa menghentikan perangai orang-orang itu.

  “Saya juga sedikit tahu tentang dia. Dionne juga terkenal hingga ke Bandung. Tapi saya kaget saat tahu bahwa ia meninggal 7 tahun sebelum saya lahir.” Raline menanggapi daripada guru itu mengoceh sendiri.

Pak guru tercengang. Ternyata sudah selama itu sejak kematian Dionne. Ia terdiam sejenak, membaca sekali lagi profil Raline di bagian biodata. Kelahiran 2032. Gadis itu masih berusia 18 tahun. Membaca tulisan itu, ia merasa tua. Umurnya sudah 50 tahun ternyata, baru ia sadari.

  “Oh ya. Aku ingin tahu tentang bakat atau hobimu. Saat aku tahu kau menerima banyak penghargaan olahraga panahan, aku merasa melihat Dionne kembali. Kurasa kau akan jadi penerusnya,” sahut pria itu sambil mengeluarkan catatan kesiswaan.

  “Mungkin selain panahan, saya menyukai hal-hal berbau sejarah dan arkeologi. Dua tahun terakhir saya menyibukkan diri bergabung dengan klub arkeologi. Kami menghabiskan banyak waktu untuk meneliti barang peninggalan kuno. Klub itu bernama The Arch 18,” jelas Raline bersemangat.

  “Wah, itu hal yang menarik. Aku tahu klub itu. Masih baru kan? Anggotanya masih muda ditunjukkan dari angka 18 di nama klub. Usia rata-rata anak remaja,” timpal guru itu, “baiklah, terima kasih, Raline. Kau boleh kembali ke kelas atau mungkin berkeliling. Temanmu sudah menunggu di sana.”

Pak guru menunjuk ke arah pintu. Dari balik pintu kaca, terpampang wajah seorang anak lelaki sedang asik memandangi layar ponsel. Raline menengok ke belakang. Manusia itu masih setia berdiri di sana sejak beberapa menit lalu. Gadis itu dibuat geleng-geleng kepala olehnya. Ia harus segera beranjak daripada membuat lelaki itu menunggu.

  “Saya duluan ya, Pak…” Raline bangkit dari kursi, membungkuk sebelum pergi.

Guru itu mengangguk seraya tersenyum. Menatap punggung tegap gadis itu. Sosok Raline pada akhirnya hilang di balik dinding. Begitu pula anak lelaki itu. Mereka berjalan menjauh dari ruang guru.

  “Kamu menunggu dari tadi?” tanya Raline ketus. Ia lipat kedua lengan di depan dada. Menatap tajam manusia di sampingnya.

  “Tidak boleh?” sahut Yoshua tanpa mau memandang lawan bicara. Ia terus-terusan memainkan game di ponsel pintarnya.

25 years [ ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang