Berkelana ke Ujung Dunia

31 22 1
                                    

Matahari tumbang di kaki barat. Langit menunjukkan warna biru-merah kegelapan. Jalan raya dipenuhi oleh kendaraan. Sepanjang jalan dibuat macet oleh berbagai kendaraan. Jam-jam pulang kerja. Tidak heran lagi jika para manusia memenuhi jalan dan trotoar. Para pekerja kantoran dan siswa keluar dari gedung, hendak berjalan pulang.

Begitupun Yoshua dan Raline. Tepat pukul 5 sore mereka baru melangkah keluar dari gerbang. Seharusnya mereka diperbolehkan pulang pada pukul setengah 4. Tapi karena ada diskusi klub arkeologi mendadak, Raline dan Yoshua harus menetap di sekolah selama beberapa jam.

Tepat saat langkah kaki menapak di atas trotoar, sebuah mobil putih menyambut mereka. Saat kaca jendela bergerak turun, wajah manis Mhea terpampang, mengucapkan selamat sore. Kebetulan dia sedang bosan, jadi ia memutuskan untuk menjemput Raline dan Yoshua. Mereka berdua saling pandang, tak percaya dengan pemandangan ini.

  “Kenapa diam saja? Ayo, naik. Sekalian aku mengajakmu jalan-jalan,” ujar Mhea.

  “Tampangmu tidak meyakinkan. Menyetir mobil saja jarang, kau mau menantang maut?” sahut Raline tahu bahwa Mhea tidak pandai mengemudikan mobil.

  “Tenang, mobil ini pakai sistem self driving. Kalau menyetirku tidak enak, mobil ini bisa memberi tahu. Jangan banyak bicara, cepat naik!” seru Mhea menahan kesal karena rekan satu komunitasnya terdengar meremehkan.

Yoshua melangkah menuju pintu bagian penumpang di depan. Anak itu sudah tidak sabaran melihat skill menyetir Mhea. Tangannya bergerak cepat membuka pintu, lantas duduk di samping kursi pengemudi. Sedangkan Raline membuka pintu mobil bagian belakang sambil mencibir. Mau tak mau ia harus ikut. Lagipula ia masih penasaran dengan kemampuan menyetir gadis 21 tahun itu.

Tak lama kemudian, kaki Mhea bergerak menginjak pedal gas. Kendaraan beroda empat tersebut melaju meninggalkan tempat semula. Roda-roda berputar mulus di atas jalan beraspal. Masih damai. Raline bersandar, melepas rasa penat. Dengan menumpang di mobil Mhea setidaknya ia tidak perlu berjalan kaki menuju halte atau mengeluarkan banyak uang untuk memesan taksi.

Beberapa menit awal, ketiga manusia itu saling diam. Tegang sekali rasanya saat Mhea menyetir mobil. Tidak terbiasa. Apalagi mengingat Mhea pernah dicegat polisi karena cara mengemudinya yang tak sesuai prosedur. Yoshua melirik ke arah Mhea, sesekali melihat bagaimana gadis itu memegang stir dan menginjak pedal gas dan rem.

  “Hei, sungguhan aku bisa menyetir dengan benar! Professor Janu mengajariku tadi pagi. Aku tidak akan dicegat polisi lagi,” omel Mhea kesal.

  “Iya, iya, aku percaya…” sahut Raline sambil menggeser-geser layar hologramnya. Tertawa kecil.

  “Kuakui sekarang cara menyetirmu memang lebih baik,” sahut Yoshua ikut tertawa.

  “Kau memperhatikanku seperti tahu saja cara menyetir…” Mhea menimpal sambil memanyunkan bibir.

  “Yoshua sudah sering ikut kursus menyetir. Jadi dia tahu banyak. Minggu depan dia akan tes mengemudi,” ucap Raline secara tiba-tiba mengingat rencana Yoshua.

  “Baguslah. Kau bisa berkendara dengan tenang jika sudah punya surat mengemudi. Raline, kau tidak mau mencobanya juga?” tanya Mhea ikut senang mendengar rekannya hendak mendapat surat mengemudi.

  “Tidak boleh.” Bukan Raline yang menjawab, melainkan Yoshua. Lelaki itu menyahut ketus, melirik Raline dari kaca cermin kecil di atas dasbor.

  “Kenapa jadi kau yang menjawab? Tentu saja aku mau, tapi lihatlah anak itu sudah seperti orang tuaku saja. Banyak mengatur. Aku juga ingin bisa menyetir dan pergi kemanapun yang ku mau sendirian.” Raline memutar bola mata malas, sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

25 years [ ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang