Kegigihan dan Ambisi

18 16 0
                                    

Sesuai jadwalnya hari ini, Raline disibukkan dengan latihan panahan. Ia sudah menghabiskan waktu lebih dari satu jam di ruangan ini. Hanya ada dirinya dan seorang pelatih yang mengisi ruang panahan.

"Bagus, Raline. Kemampuanmu semakin berkembang. Inilah yang aku inginkan sedari dulu. Beberapa waktu lalu kau hanya lengah. Jadi kali ini jangan sampai menurun lagi. Ayo, tembakkan lagi!" seru pelatih dari kejauhan.

Pria itu berkali-kali bertepuk tangan saat Raline berhasil memperoleh 10 poin tiga kali berturut-turut. Ia akhirnya dapat tersenyum bangga. Kembali menyaksikan Raline yang sedang konsentrasi mengarahkan anak panah menuju papan. Gadis itu mengontrol pernapasannya, matanya menilik ke arah depan. Menatap tajam papan target.

Cethas!

"Ya! Luar biasa, Raline!" seru sang pelatih gembira, "aku suka itu. Istirahatlah dulu. Set permainannya telah berakhir."

Raline meletakkan busur panahnya. Berjalan menuju kursi besi di belakang. Ia menghela napas, lantas mengambil sebotol air mineral dan meminum beberapa teguk. Hari ini dia merasa semangatnya membara. Jadi dia bisa mencetak poin yang tinggi, suasana hatinya sedang bagus.

"Aku suka semangatmu hari ini. Aku harap kau bisa begini setiap pelatihan. Oh ya, aku sudah daftarkan dirimu di ajang perlombaan panahan. Kalau tidak salah, kau jadi salah satu perwakilan dari sekolahmu."

Mendengar ucapan sang pelatih, Raline hampir menyemburkan air yang ia minum. Ia menerima sesuatu yang mengejutkan dari mulut pria itu. Raline terdiam sejenak, berusaha mencerna kalimat yang terlontar. Bagaimana bisa ia didaftarkan ke suatu perlombaan tanpa menanyakan terlebih dahulu. Gadis itu mengumpat dalam hati, tapi apa boleh buat. Dia tidak bisa menolak pelatih galaknya.

"Ta-tapi, kenapa harus aku?" tanya Raline terbata-bata.

"Hei, kamu kan selalu diikutkan perlombaan panahan. Kenapa terkejut? Aku tahu kemampuanmu," jawab si pelatih santai.

"Mewakili sekolahku yang sekarang?" Raline bertanya lagi, memastikan.

"Iya. Persiapkan ya, Raline. Aku pergi dulu..."

Selesailah latihannya sore ini. Pelatih Raline melangkah keluar ruangan, sambil menggendong tas kecil di punggungnya. Raline menatap punggung pelatihnya dari belakang, lantas mendengus kesal. Bisa-bisanya dia punya seorang pelatih yang menyebalkan. Pria itu serba mendadak.

Tiba-tiba terdengar deringan ponsel dari saku celananya. Raline tersentak. Ia letakkan botol minumnya kemudian merogoh saku. Layar ponsel tersebut menunjukkan panggilan telepon. Terpampang nama kontak 'Mhea' di sana. Pasti orang itu ingin menyinggung tentang pertemuan mereka setelah ini. Tanpa banyak babibu, Raline langsung mengangkatnya.

"Kau ada di mana sekarang, Raline?" suara itu terdengar kencang, bergema.

"Masih di Gedung Pusat Olahraga. Kenapa?"

"Segeralah kemari. Aku ada sesuatu yang menarik..."

"Apa itu?"

"Aku tidak bisa mengatakannya lewat telepon. Cepat, datanglah."

"Huft... Baiklah, beri aku waktu 10 menit."

"Ya, hati-hati."

Raline mematikan sambungan telepon, lantas memasukkan barang-barang ke dalam tas. Dirinya melangkah di atas lantai berpola kayu menuju luar ruangan. Kali ini, dia pulang sendirian. Tidak ada lelaki menyebalkan yang mengikutinya. Ia merasa baik-baik saja tanpa perlindungan darinya. Toh, dia sudah dewasa. Ia sudah bisa menjaga diri.

Kebetulan di depan sana pintu lift terbuka. Ada beberapa orang yang masuk, salah satunya Raline. Gadis itu berdiri di pojok. Menggeser-geser layar hologram, membaca berita yang tak sengaja lewat di beranda salah satu platform internet. Selagi menunggu pintu lift terbuka di lantai dasar, Raline melihat-lihat informasi menarik setelah diselenggarakannya diskusi kecil di klub sekolahnya. Hal ini mendapat banyak perhatian publik. Ia senang mendengar ini.

25 years [ ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang