Membungkam Masa Lalu

13 12 1
                                    

  “Selamat pagi, Dionne. Tidurmu nyenyak semalam?” Dianna masuk ke dalam sebuah ruangan, kamarnya lebih tepatnya. Ia menyuruh Dionne untuk tidur di sana sementara dia sendiri bergelut dengan beberapa laporan semalaman. Dianna juga tertidur di sana.

Dionne bangkit dari ranjang, berdiri hendak pergi ke kamar mandi. Tapi ia berhenti sejenak, merenggangkan badan. Badannya pegal-pegal, matanya juga masih terlihat mengantuk. Tampaknya dia tidak tidur dengan nyenyak. Tadi malam Dionne menulis curahan hati di dalam buku kosong yang ia bawa kemari. Pikirannya terasa penuh. Bahkan dia tak bisa memejam mata, beristirahat.

  “Aku sama sekali tidak bisa tidur. Entahlah, apa yang membuatku overthinking. Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang aku pikiran semalam…” jawab Dionne, lantas pergi ke bilik air untuk membasuh muka agar terasa segar.

  “Menurutmu, apa kegiatan yang bagus untuk menghabiskan waktu di sini?” Dianna kembali bertanya. Ia membuka nakas yang ada di samping rancang, mengambil beberapa tumpuk dokumen.

  “Katamu kau tertarik dengan kloning? Kau tak pikirkan lagi tentang itu?” sahut Dionne dari dalam kamar mandi. Tak lama kemudian keluarlah ia dari sana, menatap Dianna, menunggu jawaban.

  “Entahlah. Aku masih perlu memikirkannya…” timpal Dianna ragu.

Lengang sejenak. Mereka berdua saling pandang. Memikirkan kembali apa yang mereka berdua rencanakan. Tidak semudah itu untuk merealisasikan keinginan Dionne. Wanita berusia 25 tahun itu hendak menghilangkan semua ingatan buruk yang ia punya. Ia juga ingin pergi selama-lamanya dari dunia ini jika keberadaannya di sini tidak ada gunanya.

Dionne akan terkurung di sini selamanya. Belum ada tempat yang aman. Ia ingin menghilangkan jejak-jejaknya. Berada di Bumi ini justru membawa mimpi buruk. Dia tidak bisa bernapas lega. Seluruh memorinya telah ter-setting untuk melayani ekspektasi semua orang. Hidupnya sekarang bagaikan robot yang harus melakukan apapun untuk orang lain. Dianggap serba bisa, dianggap sempurna. Padahal tidak demikian.

  “Tidak mungkin kan kau mau di sini selamanya? Maksudku, kau tidak akan dipastikan selamat jika berlama-lama di sini.” Dianna kembali membuka topik.

  “Benar. Tapi tempat mana lagi yang hendak aku tuju? Ke luar negeri? Ke planet sebelah? Tidak, Dianna. Aku hanya ingin benar-benar lenyap dari dunia ini. Semua orang sungguh keterlaluan padaku,” jawab Dionne frustrasi.

  “Tapi kau tidak boleh mati, Dionne…” Dianna diam sejenak memandang lamat-lamat rekannya, “apapun yang terjadi, kau harus hidup  layaknya orang biasa lagi. Mereka tidak akan mengejar-ngejarmu. Jangan sampai kau menyerah begitu saja. Itu bukan Dionne yang kukenal.”

  “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanya Dionne lesu.

  “Kita bicarakan dengan pimpinan di kantor pusatku. Kita pikirkan bagaimana rencana selanjutnya. Omong-omong, D tengah berusaha memanipulasi berita…” jelas singkat Dianna, “tapi D masih belum tahu dimana kita berada. Dia hanya menjalankan tugas saja.”

  “Pantas saja berita tentangmu sedikit sekali kulihat. Pasti orang-orang jarang mengetahui sosokmu…” sahut Dionne terkejut saat Dianna mengatakan jika saudara kembarnya tidak tahu soal ini.

  “Karena aku tidak ingin mencampuri urusannya, begitu pula sebaliknya. Kami saling menjaga privasi.”

Usai percakapan singkat itu, Dianna meninggalkan ruangan sambil membawa beberapa berkas menuju ruang kerjanya. Tersisa Dionne di kamar itu. Ia kembali duduk di atas ranjang, menghela napas. Tak ada sesuatu yang dapat ia kerjakan di sini. Pasti akan membosankan bila terus berada di dalam laboratorium ini tanpa kepastian. Di tempat ini, ia hanya menumpang. Seperti seorang anak ayam yang kehilangan induknya. Apalagi keinginan dan impiannya telah lenyap. Angan yang ia gambarkan di dalam kepalanya, meledak begitu saja. Hilang.

25 years [ ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang