Medan Perang

12 8 0
                                    

  “Tapi bagaimana aku beri kesaksian jika kameraku hilang?” Raline memprotes pernyataan Professor Janu tentang pengadilan beberapa hari yang akan datang.

Ruang rawat inap serba putih lengang sejenak. Mhea dan Yoshua saling pandang, masih tak mengerti dengan perkataan Raline. Suasana tegang seketika. Baru saja mereka membicarakan masalah penggungatan. Janu berhasil mengangkat kasus itu sampai di persidangan. Pria itu meyakinkan pihak hukum untuk segera menyelesaikan masalah ini.

Namun sayangnya mereka harus bersaksi di ruang sidang tanpa bukti yang kuat. Mungkin Gama tidak dinyatakan bersalah. Hukum di negeri ini terkadang memang sedikit rumit. Tapi aturan yang berlaku ialah memperlengkap bukti dari masalah itu. Jika tidak, sulit untuk memenangkan kebenaran.

  “Kau hanya perlu menceritakan kejadian kemarin, Raline. Hakim mungkin bisa mempertimbangkannya…” Professor Janu berusaha meyakinkan.

Raline mendengus kasar mendengar itu. Ia tahu pasti jika mereka bisa saja kalah dalam persidangan ini. Padahal dia punya bukti penting di dalam jaketnya. Fakta yang mungkin akan mengejutkan pihak lawan adalah saat ia menyembunyikan kamera kecil di resleting jaket. Dia selalu bersiap akan serangan tiba-tiba. Rencananya tidak pernah salah.

Malam itu, dia sengaja memakai jaket teknologi kamera di dalamnya. Berjaga-jaga jika ada yang macam-macam dengannya. Gang sepi di malam tampak menyeramkan. Saat itu dia tidak terlalu peduli. Tapi saat ada yang memasangkan kain bius di wajahnya, dia langsung menyalakan kameranya. Benda itu merekam hampir 24 jam lamanya. Kemungkinan besar bisa mati di tengah perekaman.

  “Kau bawa kemana jaket itu?” tanya Raline pada Yoshua.

Lelaki itu tersentak. Dia bahkan tidak tahu pergi kemana jaket itu setelah Raline masuk dalam Unit Gawat Darurat. Dia juga sempat meninggalkan rumah sakit sementara. Lalu saat kembali, Raline telah dipindahkan di ruang rawat inap.

  “Aku sungguh tidak tahu.” Yoshua menyahut datar.

  “Ah, menyebalkan sekali. Kita tidak akan bisa menangkap orang sialan itu…” keluh Raline.

  “Berpikirlah positif, Raline. Tidak mungkin orang-orang membiarkan Gama berkeliaran.” Mhea ikut nimbrung setelah sekian lama terdiam.

  “Terserah.” Raline menyahut malas lantas mengalihkan pandangan.

  “Sudahlah, Raline. Kita sudah berusaha sebaik mungkin. Semoga keadilan memihak ke kita,” timpal Professor Janu sembari memandang jam tangannya, “Mhea, kita harus segera kembali. Ada sesuatu yang harus kita kerjakan.”

  “Baik, Prof.” Mhea menyahut.

  “Yoshua, kau jaga Raline ya. Kami akan segera kembali,” ujar Professor Janu.

Kedua orang itu keluar dari ruangan. Menyisakan Raline dan Yoshua di dalam. Lelaki 18 tahun itu duduk di sofa. Ia terus menatap Raline yang entah ia memikirkan apa. Isi kepala gadis itu terus berputar pada masalah yang ia hadapi saat ini. Dia seharusnya dapat menjalankan balas dendam, tapi kali ia merasa jalannya buntu. Rencananya kini adalah mencari dimana kamera itu. Mau tak mau dia harus membawa itu di pengadilan nanti.

  “Aku tahu kau kesal. Tapi jangan sampai suasana hatimu itu merusak kesaksianmu di pengadilan.” Yoshua kembali membuka topik percakapan.

  “Ya. Mau bagaimana pun Professor Janu telah melakukan semuanya untukku,” sahut Raline kemudian menurunkan telapak kakinya di atas lantai.

Gadis itu berjalan menuju jendela di samping ranjangnya. Ia buka tirainya. Gedung-gedung bertingkat memenuhi pandangan. Dirinya merenung beberapa menit sambil melihat kendaraan yang melintas. Sebuah truk es krim di samping gedung rumah sakit menarik perhatiannya. Tiba-tiba ia jadi teringat bercanda di tengah terik matahari sambil menikmati segarnya es krim bersama teman-temannya.

25 years [ ✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang