delapan

1.5K 249 21
                                    

Jingga sudah menghias langit sore ini. Kubikel-kubikel kerja bermandikan cahaya oranye dari balik kaca-kaca besar yang menjadi dinding gedung. Begitu pula dengan kubikel Ilham. Ilham selalu suka siraman cahaya tersebut, seolah semesta tengah mengatakan bahwa ini saatnya ia pulang. Ilham selalu pulang tepat waktu. Walau ada pekerjaan yang belum selesai pun, ia membawanya ke rumah, karena Ilham selalu ingin pulang dengan Serly.

Ilham merapikan meja, mengambil tas. Orang-orang di sekitar juga melakukan hal yang sama. Setelah semuanya beres, biasanya Ilham akan bergegas menghampiri Serly, dan biasanya juga, Serly sudah siap.

Namun kali ini, Ilham pulang dengan siapa?

Tidak ada yang memberitahu Ilham untuk bersiap-siap akan perpisahan ini. Ilham sudah nyaman dengan semuanya, rutinitasnya, dan keberadaan Serly di sampingnya.

Sekarang?

Sekarang dia harus apa?

"Kenapa lo?"

Pertanyaan itu datang dari Fajar yang berada di depan kubikelnya. Ilham yang sejak tadi berdiri di depan kubikel dengan mengetukkan jemari di ponsel, berhenti melamun, dan menatap Fajar yang juga tengah menatapnya.

"Lo pulang ke mana?"

Fajar mengerutkan alis heran. "Ya kerumah, lah, emang ke mana lagi?"

"Main dulu, yuk."

"Kemarin baru aja main." Kebingungan Fajar tampak sirna seketika. Lelaki itu menyadari sesuatu. "Oh, iya. Lo udah nggak pulang sama Serly lagi, ya?"

Ilham mengumpat pelan. Ia bergegas meninggalkan kubikel setelah mengambil tas kerjanya. Langkah Ilham beriringan dengan Fajar hingga mereka kembali bertemu di lorong. Fajar tidak mengatakan apa-apa hingga hanya mereka berdua yang berada di dalam lift.

"Lo termasuk beruntung, Ham. Lo pisah sama Serly nggak harus ada status janda-duda, nggak harus ada perceraian, tanda tangan dokumen segala macam."

"Beruntung dari mana?" tanya Ilham sebal, menghunuskan mata tajam ke arah Fajar. "Lebih baik gue punya status sebagai mantan suami. Seenggaknya, yang terjadi kemarin bener-bener nyata."

Ilham menatap bayangannya di dinding lift yang merupakan cermin besar. Dalam bayangannya itu, terlihat sekali betapa kacau wajah Ilham. Matanya sayu, bibirnya tak melengkungkan senyum barang satu kali pun hari ini, dan kulitnya kusam.

"Sebelum pulang temenin gue beli cromboloni buat Keisya, Ham."

Ilham mengangguk. Apa pun ia lakukan hanya agar dirinya bisa lebih lama sampai di apartemen yang dingin, tanpa Serly.

Lift terbuka di beberapa lantai lain, menghadirkan karyawan yang juga ingin pulang seperti mereka. Hingga akhirnya mereka sampai di lantai dasar. Ilham mengikuti langkah panjang Fajar menuju kafe yang berada di samping lobi. Kafe tersebut tampak ramai dengan beberapa orang. Ada yang tengah mengobrol, ada juga yang sibuk tenggelam dengan laptop masing-masing. Ilham ikut mengantre di samping Fajar hingga matanya menangkap satu figur familiar tengah berada di barisan yang sama, berjarak dua baris darinya.

"Serly."

Figur familiar tersebut menengok, membuat Ilham tahu tebakannya benar. Ilham mengatakan permisi ke dua orang yang tengah mengantre, kemudian berdiri di samping Serly.

"Kamu mau beli apa?" tanya Ilham.

Serly menatap Ilham sejenak sebelum ia menyahut. "Milk tea, Mas."

"Kamu suka milk tea?"

Serly mengangguk.

Ilham mengernyitkan alis. Sama seperti nasi goreng cabai hijau, Ilham juga baru tahu bahwa Serly menyukai milk tea. Sebenarnya, seberapa banyak Ilham mengetahui dan tidak mengetahui tentang Serly?

Ilham dan Serly berdiam diri. Diam selalu menjadi nyaman bagi Ilham bila itu bersama Serly di sampingnya. Namun, diam kali ini membuat Ilham bertanya-tanya gelisah, apakah ini akan menjadi diam terakhir mereka?

Giliran Serly memesan tiba. Perempuan itu mengucapkan pesanannya, tersenyum seperti biasa, dan menengok ke arah Ilham menanyakan apakah dirinya ingin memesan juga atau tidak. Ilham menggeleng. Ia tidak terlalu suka minuman manis. Dan dia juga sedang tidak ingin sesuatu yang pahit.

Tanpa sempat Serly mencegah, Ilham mengeluarkan ponsel untuk membayar minuman perempuan tersebut. Ilham juga memesan satu pastry dibawa pulang untuk Serly.

"Mas nggak harus bayarin makanan sama minuman aku."

Ilham mengerling. "Aku tau, tapi biarin aku melakukannya. Aku nggak berharap apa-apa."

Serly menatap Ilham lama, kemudian menunduk pelan, bergumam. "Aku tau."

Selama pesanan Serly dibuat, Ilham tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya ... menikmati tiap menitnya di samping Serly. Mereka berdiri di konter pick up, melihat barista bekerja. Dari kejauhan, Ilham mendengar Fajar tengah memesan cromboloni dan dua minuman. Fajar bergerak mendekat ke arah mereka, untuk menunggu pesanan juga, namun sahabat Ilham itu memberi jarak yang cukup untuk Ilham dan Serly agar tidak merasa terganggu.

"Apa karena kamu ingin menikah?" tanya Ilham di tengah keramaian kafe. Tidak menatap Serly. Matanya tertuju fokus pada gerakan tangan barista menuangkan minuman ke gelas plastik.

"Mas tau aku nggak pernah ingin menikah," jawab Serly setelah lama hanya hening di antara mereka. "Aku tidak ingin terikat oleh siapa pun."

Termasuk aku?

"Aku tidak akan mengikat kamu, kamu tau itu. Aku setuju dengan semua ingin kamu."

Serly kali ini mengerling. "Termasuk tentang berpisah?"

"Atas nama Serly."

Suara barista menyahut berikut dengan satu kantung kertas berada di hadapan mereka. Ilham mengambil kantung tersebut, memberikannya pada Serly.

"Kecuali itu."

Not a Bed of RosesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang