dua belas

866 175 18
                                    

Hanya pekerjaan yang mengalihkan perhatian Ilham sekarang. Dirinya sudah pergi ke klub malam beberapa kali, namun mengingat Serly berada di IGD saat ia malah bersenang-senang di klub malam membuat perut Ilham kembali mulas, jadi ia berhenti pergi ke klub malam. Fajar menyayangkan hal tersebut. Padahal Fajar yang akan menikah tiga bulan lagi, tetapi malah Ilham yang mulai menghentikan kehidupan malamnya.

Kini, Serly telah lama membalas pesan Ilham. Walaupun dibalas, isi pesan Serly singkat. Serly juga sudah tidak mengangkat teleponnya di malam hari, dengan alasan dirinya telah tertidur. Di titik itu, Ilham sadar, bahwa kini ia telah sendiri.

Ilham masih sering melihat Serly berseliweran di koridor kantor bersama teman-temannya. Belum satu bulan mereka berpisah, tetapi Ilham melihat Serly tersenyum dari mata ke mata ketika mengobrol dengan temannya. Memang bukan teman lelaki, tetapi, Ilham mulai bertanya-tanya kapan Serly tersenyum selebar itu padanya. Ilham tidak menemukan jawaban apa pun.

Ilham bergerak ke kubikelnya, duduk di sana. Dirinya baru saja selesai makan siang. Tepat ketika ia membuka ponsel, satu notifikasi muncul di ponsel.

Jessica: Bro. Lo dateng ke ultah gue nanti malem, kan?

Ilham mengerutkan alis seraya mengetikkan balasan.

Ilham: Lo ultah?

Jessica: Parah. Lo lupa?

Jangankan ulang tahun temannya, ulang tahunnya sendiri saja, Ilham tidak ingat. Ilham mendengkus geli, kemudian mulai mengingat-ingat. Memang, acara ulang tahun Mama dan Jessica tahun lalu diadakan berdekatan. Itu berarti memang tanggal lahir Jessica telah dekat.

Ilham: Share loc aja, nanti gue dateng abis pulang kerja

Jessica: Sama Serly, kan?

Ilham baru sadar seberapa lekat Serly telah masuk dalam hidupnya sampai seluruh relasi Ilham tahu keberadaan perempuan itu. Ilham mengutuki diri.

Ilham: We broke up

Ada jeda yang cukup lama, padahal Jessica sudah lama membaca pesan Ilham, sampai ponsel Ilham berdering menampilkan nama perempuan itu. Ilham segera mengangkatnya, namun jeritan Jessica di ujung telepon serta merta membuat Ilham menjauhkan ponsel dari telinga. Begitu suara jeritan itu mereda, Ilham mulai bicara.

"Udah?" tanya Ilham.

Jessica mengatur napas. "Udah."

"Baguslah."

"WOI!" seru Jessica dengan tenaga tersisa. "Lo bikin salah apa, setan?!"

Ilham menaruh punggung di kursi kerja, menatap teman-teman kerjanya yang satu persatu kembali ke kubikel masing-masing. Jam kerja akan dimulai tujuh belas menit lagi.

"Mana gue tahu," jawab Ilham seadanya—karena memang dia tidak tahu.

"Gue tau ini." Ada jeda. Ilham jadi penasaran. "Serly pengen lo kawinin."

"Udah."

"Nikah maksud gue, goblok."

Ilham tertawa. Jessica ini dari zaman SMA sampai sekarang, mulutnya memang benar-benar tidak ada saringan. Semua pengikutnya di media sosial tertipu dengan keanggunan yang diperlihatkan Jessica. Ilham sengaja tidak pernah melihat konten apa pun yang Jessica buat, karena ia pasti akan terbahak melihat semua kepura-puraan itu.

"Bukan gue yang nggak mau nikah," sahut Ilham pelan—untuk pertama kalinya mengakui.

Jessica terdiam di seberang panggilan. Cukup lama, sampai suaranya ikut memelan. "Jadi, selama ini ...?"

"Selama ini gue yang mau nikah, Jess." Kurang pecundang apa Ilham mengatakan hal tersebut di depan teman perempuannya? "Selama ini gue ... menunggu Serly berubah pikiran. Gue menunggu Serly ingin menikah."

Karena menikah adalah keinginan Ilham ketika pertama melihat Serly. Karena menjadi ayah adalah keinginan Ilham. Karena Ilham pernah bermimpi akan keluarga kecil yang bahagia itu, yang tidak ia dapatkan saat kecil. Namun apa daya ketika perempuan yang ia cintai memiliki keinginan yang berlawan? Ilham saja yang melawan keinginannya, asal itu bisa bersama Serly.

"Terus kenapa?" tanya Jessica. "Apa karena kehidupan malam lo? Selama ini Serly nggak pernah protes, kan? Apa sebenarnya Serly nggak setuju?"

Ilham mengurut pangkal hidung. "Gue nggak tau, Jess. Serly nggak pernah ... protes apa-apa."

Serly hanya membawa kembali koper merah yang pertama ia bawa ke apartemen Ilham seolah isi hidupnya seukuran koper tersebut. Serly hanya pergi, meminta salim padanya, seolah nanti malam ia pulang—Serly tidak lagi pulang setelah hari pertama tahun baru.

"Ham."

"Kenape?" tanya Ilham.

"Lo tau keluarga Serly gimana?" tanya Jessica. "Lo udah tanya tentang keluarga dia secara detail?"

Pertanyaan Jessica seperti sentilan yang tidak pernah Ilham duga akan ia dapatkan. Ilham tengah menggali informasi di otaknya mengenai pertanyaan Jessica, namun sebuah ketukan di bahu membuat Ilham segera menoleh. Ilham nyaris tersedak melihat Serly tengah berada di hadapannya, dengan wajah sedikit pucat. Tanpa mengatakan apa-apa, Ilham segera memutus sambungan telepon.

"Kenapa?" tanya Ilham, segera bangkit dari kursi. Ilham menyentuh bahu Serly. "Kamu sakit?"

"Aku mau ngomong." Bibir Serly menipis. "Serius."

Not a Bed of RosesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang