dua

2.5K 418 32
                                    

"Aku mau udahan sama Mas."

"Udahan gimana?"

Kepala Ilham berdenyut. Kali ini bukan karena alkohol. Ia menatap Serly dengan kebingungan yang nyata. Dan baru Ilham sadari bahwa Serly bukan menggunakan baju rumah sehari-hari. Perempuan itu mengenakan sundress berpotongan dada rendah dengan rambut yang disanggul ke atas, memperlihatkan leher jenjang yang biasanya Ilham cium sesuka hati.

"Aku mau mengakhiri hubungan romantis kita, Mas. Kita masih bisa berteman bila itu yang Mas inginkan. Tapi, aku udah nggak bisa tinggal bareng Mas lagi."

Kepala Ilham makin berdenyut. "Serly."

Serly mengambil tas di sampingnya, mengeluarkan amplot cokelat dari sana.

"Ini kartu debit berisi uang bulanan yang Mas kirim dari awal pertama kita berhubungan. Semuanya lengkap, nggak kurang. Untuk urusan makan, biar dari aku, itung-itung aku nggak bayar sewa apartemen selama sama Mas."

"Serly."

"Iya, Mas?"

Ilham mengerutkan alis. "Maksud kamu apa?"

"Maksud aku, aku ingin berpisah dengan kamu, Mas."

Ilham mengurut pangkal hidung. Apakah dunia sudah kiamat?

"Aku nggak mau."

"Maaf, tapi aku mau."

Serly berdiri dari sofa. Ia menarik tuas koper, kemudian menariknya. Serly mendekat ke arah Ilham. Ia mengulurkan tangan, kebiasannya untuk salim pada Ilham setiap mau pergi, namun kali ini, Ilham tau itu untuk yang terakhir kalinya.

"Aku nggak izinin." Ilham menggelengkan kepala.

Serly menarik tangannya yang tidak bersambut. "Kamu bukan suami aku, Mas."

"Ser, kamu kenapa, sih?" tanya Ilham, ia ikut berdiri, memandang wajah cantik perempuannya. "Aku salah apa?"

"Kamu nggak ada salah, Mas."

"Aku selalu nurutin semua mau kamu, Ser."

"Iya, Mas selalu menuruti semua inginku. Terima kasih."

Kepala Ilham semakin berdenyut. "Terus kenapa? Apa alasannya?"

"Mungkin karena kita kurang cocok, Mas."

Persetan dengan cocok. Kalau mereka tidak cocok, bukan Serly perempuan yang Ilham tiduri tiap malamnya. Kalau mereka tidak cocok, bukan Serly perempuan yang selalu Ilham puja. Kalau mereka tidak cocok, bukan Serly perempuan yang Ilham kabulkan semua permintaannya.

"Bercanda kamu beneran nggak lucu, Sayang."

Serly menghela napas. "Buat apa aku bercanda untuk hal seperti ini?"

Ruangan keluarga itu menjadi hening. Ilham tidak pernah menyadari bahwa ada hening yang menyesakkan ketika ia bersama Serly. Ini pertama kalinya, setelah tiga tahun bersama.

"Water heater di kamar mandi akan diperbaiki tukang hari Kamis. Mas bisa luangin waktu di jam makan siang. Izin beberapa jam dari kantor buat mengawasi perbaikan itu. Nanti aku ingatkan lewat chat."

Rentetan kalimat itu semakin memusingkan Ilham.

"Baju-baju Mas semua udah aku setrika. Nanti selanjutnya Mas laundry aja, tapi di ruko yang sebelah apartemen ya, Mas. Yang di dalem apartemen soalnya kurang rapi. Mas kan nggak suka kalo ada lecek sedikit di kemeja Mas."

Kemudian, bukan hanya pusing yang Ilham rasakan sekarang. Tetapi dirinya seperti tengah terjun dari lantai dua belas.

"Kayaknya ... udah itu aja." Serly memandangi ruangan apartemen, kemudian menceletuk ketika tatapannya tertuju pada meja makan. "Oh iya, untuk makanan Mas, ada beberapa kontak katering yang bisa Mas jadikan langganan. Mas tetap harus makan makanan sehat, jangan pesan fast food. Kartu nama kateringnya udah aku taruh di meja makan."

Ruangan hening.

"Sisanya kalau ada yang lupa, aku kirim lewat chat."

Ilham bungkam.

"Mas?" Serly mengulurkan tangan kembali. "Aku mau salim."

Not a Bed of RosesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang