sepuluh

930 167 16
                                    

Serly lebih diterima di keluarga Ilham, dibanding Ilham sendiri.

Begitu mereka sampai di rumah keluarga Ilham, bukan hanya Mama yang menyambut Serly, tetapi juga saudara dan sepupu Ilham yang lain. Ilham tau, Serly adalah magnet alami bagi orang lain. Orang asing bahkan bisa dengan mudah menumpahkan isi perasaannya pada Serly dalam hitungan menit mereka berinteraksi. Serly penuh cinta, sehingga Ilham tidak heran dengan sambutan hangat dari seluruh keluarganya yang telah mengenal Serly selama bertahun-tahun.

"Kalian kapan sih, nikah?" celetuk Malika, salah satu sepupunya dari keluarga Mama. Ilham tengah menyendiri di salah satu pilar taman belakang ketika Malika muncul membawakan dua gelas berisi soda. "Kamu nggak takut Serly diambil orang, Ham?"

Ilham memperhatikan Serly yang kerepotan meladeni sepupu-sepupu Ilham yang masih kecil di kejauhan. Serly duduk bersama mereka di salah satu titik keramaian. Perempuannya itu tertawa kecil ketika salah satu dari mereka memakaikan mahkota bunga yang didapat entah dari mana—anak kecil selalu punya barang-barang aneh.

"Kalo nggak besok, lusa," jawab Ilham sekenanya.

Malika berdecak tak puas. Yang sepupu paling dekatnya itu tahu adalah bahwa Ilham anti dengan komitmen. Tapi, yang Malika tidak tahu adalah, hal tersebut hanyalah tameng agar semua orang tidak memandang Serly buruk. Karena yang tidak ingin menikah adalah Serly, bukan Ilham. Serly tidak ingin terikat. Ilham kira dengan membuat Serly tinggal di atap dan ranjang yang sama dengannya, Serly tidak akan pergi. Namun, orang yang menikah pun bisa bercerai, apalagi hubungan Ilham dan Serly yang rapuh.

Ilham tetap kehilangan Serly.

"Jangan sampai Serly capek nunggu kamu, Ham," sahut Malika sebelum ia meninggalkan Ilham sendirian. Perempuan itu bergabung bersama Serly dengan senyum ramahnya, sangat kontras dengan muka judes yang Malika tampilkan di depan Ilham.

Tidak apa-apa bila Ilham jadi penjahatnya asal semua orang menganggap Serly baik.

Ilham memutar gelas di tangan, memainkan cairan soda yang masih tersisa setengah. Pikirannya masih berkecamuk. Ilham bahkan tidak tahu apakah setelah acara ini ia bisa kembali menghabiskan waktu bersama Serly. Ilham sudah bertanya pada salah satu kakaknya, kapan diadakan acara lain di rumah, namun acara selanjutnya kira-kira tiga bulan lagi, saat acara tujuh bulanan sepupu mereka. Kakaknya itu melihat Ilham dengan tatapan heran. Tentu saja heran. Ilham selalu bersikap acuh tak acuh pada segala hal yang berhubungan bukan hanya dari keluarga intinya, tapi dari keluarga besar juga.

"Ilham. Mama mau ngobrol sama kamu."

Sahutan itu datang dari arah ruang tengah. Adik bungsunya, Sarah, muncul dengan dress merah muda salem yang bergerak sesuai arah langkah dengan rambut yang ditata sedemikian rupa. Sarah kemudian menoleh pada kerumunan di halaman belakang, kemudian senyumnya seketika melebar.

"EHH, KAK SERLY!" seru Sarah, kemudian melenggang pergi begitu saja meninggalkan Ilham dengan info minim tanpa memberitahu alasan Ilham dipanggil. "Aku tadi kondangan dulu, jadi baru dateng sekarang. Kak Serly bisa dateng, toh!!! Kak Ilham nggak bilang apa-apa!"

Ilham menaruh gelas kaca di meja tempat peralatan makan yang kotor dikumpulkan, kemudian bergerak ke arah Sarah.

"Mama mana?" tanya Ilham singkat.

"Di kamar," sahut Sarah sama singkatnya sebelum ia fokus bercerita entah apa pada Serly, berebut dengan sepupu lain.

Serly sempat melihat Ilham sekilas, sebelum ia menunjukkan senyum cerah pada sepupu dan saudara Ilham. Ilham berdecak dalam hati. Dirinya sama sekali tidak dipedulikan Serly. Serly itu lebih sayang pada saudara dan sepupunya, kah, dibanding pada Ilham?

Ilham membawa langkah ke kamar Mama. Memang, acara inti sudah selesai sekitar dua jam yang lalu. Beberapa tamu sudah pulang, tertinggal beberapa keluarga yang memang dekat dan akrab dengan keluarga inti Mama—yang hampir semuanya mengerubungi Serly, terutama para perempuan.

Ilham membuka pintu berkusen jati tersebut tanpa mengetuk terlebih dahulu. Semerbak wangi lili menyapa indera penciuman Ilham. Ia bergerak mendekat, mencari figur Mama. Wanita paro baya itu tengah mengusap sisa riasan di wajah dengan kapas berbentuk lingkaran. Begitu melihat Ilham, Mama menggesturkan tangan untuk Ilham duduk di kursi sebelahnya.

"Kenapa, Ma?" tanya Ilham.

Belum pantat Ilham mendarat sempurna di kursi kayu, suara Mama menyahut cepat dan penuh tuntutan.

"Tahun ini kamu nikah ya, sama Serly."

Ilham rasanya ingin meninju dinding.

Not a Bed of RosesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang