Assalamualaikum💐🤍
Allo bestie!
Terima kasih buat kalian yang udah baca cerita ini.
Jangan lupa vote dan komen setiap paragrafnya biar aku semangat nulisnya.
💙Semoga kalian suka💙
~ Happy reading ~
.
.
.
.
.Sore yang cerah kian terbenam menjadi senaj yang indah. Ama berdecak kagum pada pemandangan didepannya. Perpaduan warna oranye kekuningan menambah menarik di langit. Sayup terdengar suara adzan bergema di seluruh penjuru desa, terasa tenang dan aman.
"Ama?!" Panggil Uma dari dalam rumah. Ama yang mendengar pun segera bergegas masuk ke dalam rumah menemui Uma-nya.
"Nggih, Uma. Wonten nopo?" Tanya Ama sesampainya ia di depan Uma tercintanya. (Iya, Uma. Ada apa?).
"Ora Ono opo-opo, Nduk." Ujar Uma pada Ama. "Nanti jadi berangkat majelis?" Tanya Uma kemudian. (Gak ada apa-apa, Nduk).
"Nggih Uma, mangkeh sios." Sahut Ama seraya tersenyum. (Iya Uma, nanti jadi).
"Uma, mau ikut boleh?" Tanya Uma lagi, sembari mengelus tangan putri kecilnya.
"Angsal ta, Uma. Mosok Umane ajeng nderek mboten oleh." Ujar Ama seraya menggoda Uma-nya. (Boleh, Uma. Masa Uma-nya mau ikut gak boleh).
"Nggih mpun, Uma siap-siap dulu." Jawab Uma berjalan menuju kamarnya. (Iya udah).
Saat Uma berjalan kekamarnya, Ama pun ikutan bergegas mempersiapkan diri. Tak lupa, saat akan berangkat majelis Ama selalu membawa air putih yang nantinya akan digunakan pada saat mahalul qiyam.
Ama sudah siap dengan setelan gamis putih dan jas almamater kebesaran IPPNU. Iya, Ama adalah seorang ketua IPPNU, ia menjabat kurang lebih hampir tiga tahun lamanya. Suka suka menjadi seorang anggota sekaligus ketua sudah pernah Ama alami. Namun, hal itu tak menjadikannya kapok, malah jadi candu lalu merindu untuk membantu kegiatan IPNU IPPNU. Ikhlas itu kunci utama. Ikhlas dalam menuntut ilmu, ikhlas dalam hal apapun yang berkaitan di dalamnya. Dan sebagai pelajar IPPNU, Ama sangat bangga bisa menjadi bagian dari organisasi ini.
Ama berjalan ke garasi, lalu ia memanasi motor yang akan dipakainya, sembari menunggu kehadiran Uma tercinta. Pucuk di cinta, ulang pun tiba. Yang di tunggu akhirnya datang menyapa, "Ama, sayang." Sentak Uma mengageti putrinya.
"Astaghfirullah, Uma. Adek kaget tahu." Sontak Ama jadi dramatis.
"Mpun yuk, gek ndang budal wae Nduk." Uma tak menghiraukan drama yang akan dimainkan oleh Ama. (Udah yuk, buruan berangkat aja Nduk).
"Uma niku, nggih mpun monggo." Ujar Ama tak jadi protes. (Uma itu, iya udah silahkan).
"Mpun ijin Aba dereng, Uma?" Tanya Ama memastikan pada Uma-nya. (Udah izin Aba belum, Uma).
"Mpun sayang, Adek tenang mawon nggih." Kata Uma seraya tersenyum. (Udah sayang, Adek tenang aja ya).
Setelah berdebat sekian lamanya, pada akhirnya ibu dan anak itu pergi ke tempat majelis. Di majelis, Ama segera memarkirkan motornya dan langsung mencari tempat yang strategis yaitu di depan panggung tempat dilaksanakannya acara majelis ini. Uma duduk sendiri selagi Ama mengurus anggota IPNU IPPNU dan keperluan majelis.
Ama mondar-mandir ke panggung balik ke aula belakang panggung seraya membawa baki berisi buah, sedangkan Atun yang membawa minumannya. Saat hendak balik lagi ke belakang panggung, Ama tak sengaja menabrak seorang lelaki. Ia pun mendongak dan hendak meminta maaf pada orang yang ditabraknya. Saat pandangan mereka berdua bertemu, sesaat keduanya tidak berkedip barang sedetikpun. Seakan terpesona akan kecantikan Ama, lelaki itu pun terlihat salting dan langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Ngapunten sanget, Kang." Ucap Ama seraya menangkupkan kedua tangannya. (Maaf banget, Kang).
"Nggih Mbak, santai mawon. Mbenjang maleh, kudu luwih ati-ati nggih." Sahut lelaki itu seraya tersenyum. (Iya Mbak, santai aja. Besok lagi, harus lebih hati-hati ya).
"Nggih Kang."
"Nama e sampean sinten, Mbak?" Tanya lelaki itu menatap Ama sekilas. (Namanya kamu siapa, Mbak).
"Amaira, Kang." Sahut Ama singkat. "Kalo njenengan?" Ia bertanya balik. "Kalo kamu).
"Kulo Fahmi, Mbak." Ujar Fahmi seraya merapikan pecinya yang sudah rapi, kelihatan salting pol. (Saya Fahmi, Mbak).
"Fahmi? Vokalis Hadroh ta, ya Allah ngapunten sanget niki Gus. Duh, dados mboten kepenak kulo." Kata Ama yang gantian salting saat mendengar nama pujaan hatinya. Nama aja tahu, masa wajah gak ngenali? (Maaf banget ini Gus. Duh, jadi gak enak saya).
"Nyuwun nomer wa e, Mbak." Ujar Fahmi memintai nomer wa-nya Ama. (Minta nomer wa-nya, Mbak).
"Kangge nopo nggih, Gus?" Tanya Ama mengerutkan keningnya. (Buat apa ya, Gus).
"Ada Mbak, angsal nggih?" Fahmi mengulangi lagi permintaannya. (Boleh)
"Nggih, boleh Gus." Sahut Ama santai, namun dalam hatinya berjingkrak-jingkrak senang bukan main.
Fahmi kemudian menyodorkan ponselnya pada Ama. Sedangkan Ama menerimanya lalu mencatat nomernya. Kemudian ia chat dengan nama yang imut.
Amaira cantik
Save, Gus Fahmi.
Saat selesai menchat nomernya sendiri, baru ponsel Fahmi dikembalikan oleh Ama. Merasa sudah tidak ada kepentingan lagi, Ama akhirnya menyudahi dan lalu pergi ke belakang melanjutkan kegiatannya. Sedangkan Fahmi, ia naik ke panggung soalnya pembukaan acara sudah di mulai sejak lima menit yang lalu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara Rasa
Non-FictionAmaira Hafidzah adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun. Amaira lulusan dari pondok pesantren An-Nur Trisono Babatan Ponorogo. Santri dari seorang Kyai kondang, Beliau adalah Romo Kyai Moch. Djamhari Ghozali Anwar. Amira tergolong aktif di orga...