07: Perasaan Silvi

46 25 1
                                    


"Farhan Pratama."

"Hadir, Pak." Farhan mengangkat tangannya.

"Silvi Retno Wulandari." Pak Mukhlis diam sejenak seraya memelototi lembar absen, namun tak kunjung mendapatkan jawaban dari Silvi. Pak Mukhlis kemudian melihat ke arah para muridnya untuk mencari sosok Silvi yang rupanya tidak ada. "Di mana Silvi?" tanya Pak Mukhlis.

"Tidak hadir, Pak," jawab Farhan.

Musa melihat sekeliling untuk memeriksa apakah Silvi benar-benar tidak ada di kelas? Ternyata benar, baik di bangkunya atau di bangku lain, Silvi tidak ada. "Tapi saya tadi lihat dia ada di parkiran, Pak. Kita sempet ketemu dan bicara sebentar," jelas Musa pada Pak Mukhlis.

Pak Mukhlis mengangguk paham. Beliau meremas-remas tangannya sendiri kemudian melepas kacamata yang selalu ia kenakan. Sekarang ia merasa khawatir dengan Silvi selaku Wali Kelas. "Kalau begitu, cari dia. Farhan, kamu jemput Silvi di parkiran, takutnya ada apa-apa."

"Baik, Pak." Farhan pun pergi meninggalkan kelas.

Pak Mukhlis memang wali kelas yang sangat menyayangi anak-anaknya. Beliau sangat memerhatikan mereka dalam hal sekecil apapun, seperti misalnya, beliau menyediakan satu dus pulpen agar anak-anaknya selalu menulis apa yang seharusnya di catat dan tidak mengeluh karena tidak memiliki pulpen. Beliau juga menyediakan stok pembalut untuk murid perempuannya karena dikhawatirkan mereka akan lupa membawa salinan.

***

Farhan akhirnya berada di parkiran, ia sama sekali tidak melihat Silvi di sana. Namun, motor Silvi masih terparkir lengkap dengan helm yang ia gantungkan di spion.

"Tuh anak kemana sih?" kesal Farhan.

Farhan meraih ponselnya di saku celana kemudian menelepon Silvi. Farhan mengarahkan ponselnya ke telinganya.

"Ah, gak diangkat!"

***

Saat ini Silvi sedang duduk di pinggiran atap sekolah. Ia terus saja memegang dadanya yang terasa semakin sesak sejak tadi. Air matanya berjatuhan menjadi saksi atas betapa sakitnya perasaannya. Ponselnya ia letakkan di sampingnya, dibiarkan berbunyi begitu saja. Ya, sejak tadi Farhan tidak berhenti meneleponnya.

"Gue suka sama lo dari dulu, gue berusaha deketin lo, tapi kenapa lo seakan-akan gak paham sama perasaan gue?" Silvi menyeka air matanya. "Entah lo beneran gak paham, atau pura-pura gak paham, Musa."

Di waktu itu juga, Farhan datang dengan ponsel yang ia tempelkan di telinganya. "Sil?" panggil Farhan sedikit terkejut melihat Silvi menyendiri di tempat tinggi seperti ini.

Cepat-cepat Silvi menghapus air matanya agar Farhan tidak melihat hal yang menurutnya memalukan ini. Namun sayangnya, Farhan sudah menyadari hal itu.

"Rupanya lo udah tau tentang Alina?" batin Farhan.

Farhan berjalan menghampiri Silvi kemudian duduk di sampingnya. Farhan bersikap seolah tidak tahu kalau wanita di sebelahnya ini menangisi cintanya yang bertepuk sebelah tangan.

"Lo ngapain di sini?" tanya Silvi tanpa memandang Farhan.

Farhan menyangga tangannya ke belakang, mencoba bersikap santai. "Harusnya gue yang nanya sama lo. Lo ngapain di sini?" tanya Farhan balik.

"Bukan urusan lo," jawab Silvi dengan ketus.

Farhan tertawa kecil. "Soal Alina sama Musa ya?" ujarnya kemudian melirik Silvi untuk melihat bagaimana reaksinya.

Silvi menunduk. "B-bukan kok." Kali ini suaranya sedikit bergetar.

"Gak usah ditahan, Sil. Gue tahu perasaan lo ke siapa, gue tahu perasaan Musa buat siapa, gue tahu semuanya."

KETOS SCANDALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang